YOGYAKARTA-Ketika terjadi perubahan konstelasi politik nasional yang ditandai oleh berakhirnya rezim pemerintah Orde Baru, maka di Papua pun terjadi dinamika politik lokal yang signifikan. Pemerintah pusat kemudian memberikan Otonomi Khusus (Otsus) sebagai sebuah kompromi politik atas tuntutan gerakan Papua Merdeka. Otsus ini ternyata menghadirkan berbagai fakta dan permasalahan yang kompleks, terutama ketika isu etnosentrisme dan merebaknya praktik politik representasi di kalangan segenap elite Papua.
“Etnosentrisme masih kuat di Papua. Praktik itu berlangsung pada ranah politik, birokrasi, dan sosial-ekonomi,â€tegas Avelinus Lefaan pada ujian terbuka doktor Program Studi Kajian Budaya dan Media di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (3/10).
Pada ujian itu Ave mempertahankan disertasinya berjudul Etnosentrisme dan Politik Representasi di Era Otonomi Khusus Papua. Ujian yang dipimpin Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS, tersebut bertindak selaku promotor Prof. Dr. Heru Nugroho dan Prof. Dr. Mudiyono. serta tim penguji Prof. Dr. Djoko Suryo, Dr. Wening Udasmoro, DEA., M.Hum, Dr. S. Bayu Wahyono, Dr. Mahendra Wijaya, Dr. Budiawan dan Ratna Noviani, SIP., M.Si., Ph.D.
Ave memberi contoh dalam ranah politik, praktik etnosentrisme berlangsung dalam dinamika politik kepartaian, terutama pada even Pilkada. Dalam birokrasi yang masa sebelumnya lebih banyak didominasi oleh sumber daya dari luar, kemudian muncul gejala Papuanisasi sektor birokrasi dengan mengambil momentum Otsus.
“Dalam ranah sosial, etnosentrisme tampak pada terbelahnya citra orang Papua daratan dan orang Papua gunung. Dikotomi ini kemudian dieksploitasi segenap elite politik lokal untuk merebut kekuasaan dalam arena kontestasi politik, yaitu Pilkada,â€kata dosen di Universitas Cenderawasih tersebut.
Pria kelahiran Fak-fak, 30 Mei 1958 ini menambahkan praktik politik representasi juga sering dilakukan oleh segenap elite politik Papua dalam dinamika politik lokal. Politik pengatasnamaan rakyat ini pun lantas menjadi gejala yang marak melalui permainan bahasa politik para elite lokal. Para elite ini berusaha merepresentasikan realitas rakyat jelata tetapi atas konstruksi dan frame elite, dan sekaligus di balik itu demi kepentingan elite itu sendiri.
“Mereka selalu bicara bahwa rakyat ingin ini dan itu, sehingga apa yang direpresentasikan tentang realitas kebutuhan rakyat tidak lain untuk kepentingannya sendiri,â€imbuhnya.
Di sisi lain resistensi rakyat Papua atas praktik politik representasi ini diwujudkan dalam berbagai bentuk tindakan protes melalui unjuk rasa agar elite politik mengembalikan Otsus kepada pemerintah pusat, karena selama ini tidak membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat. Namun, sebagian besar warga Papua, terutama yang berada di daerah pedalaman tidak tahu bahwa Otsus itu sebenarnya untuk mereka, sehingga nasib mereka tetap tertinggal, terpinggirkan, dan tanpa bersuara.
“Begitulah, isu etnosentrisme ini tetap marak dalam dinamika politik di Papua meskipun isu etnisitas ini terasa sensitive dan banyak orang menentangnya, mau tidak mau tidak bisa dihindarkan,â€urai Ave.
Praktik politik representasi ini, kata Ave, kemudian tumbuh subur bersamaan dengan masih belum adanya massa yang kritis (critical mass). Warga Papua tingkat pendidikannya masih rendah, apalagi yang tinggal di daerah pegunungan. Ikatan tradisional dan hubungan patron-klien semakin menyulitkan terjadinya proses menuju terciptanya massa yang kritis.
“Kelas menengah sibuk dan ramai-ramai masuk birokrasi dan partai yang tidak mengakar. Sedangkan warga akar rumput stagnan serta tidak punya daya tawar,â€pungkas Ave yang lulus doktor dengan predikat cum laude itu (Humas UGM/Satria AN)