Menguatnya kontrol pemerintah kolonial Belanda pada abad 19 atas birokrasi pribumi yang diimplementasikan dalam modernisasi birokrasi mengakibatkan surutnya status sosial dan politik bupati. Menyurutnya status sosial dan politik ini mengakibatkan perubahan gaya hidup para bupati salah satunya di Karesidenan Besuki. Meskipun begitu, perubahan gaya hidup para bupati tidak menimbulkan perubahan secara struktural fungsi dan kekuasaan mereka.
“Walapun implementasi kebijakan modernisasi telah berpengaruh terhadap kedudukan dan kekuasaan para bupati di Karesidenan Besuki, tetapi kedudukan dan kekuasaan mereka tidak pernah surut. Bahkan setelah implementasi kebijakan ini berjalan hampir 1 abad kedudukan dan kekuasaan para bupati bisa dikatakan pulih kembali,†papar Dra. Retno Winarni, M.Hum., staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember dalam ujian terbuka program doktor, Rabu (3/10) di Gedung Margono Fakultas Ilmu Budaya UGM. Dipromotori oleh Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A., dan Ko promotor Dr. Sri Margana, M.Phil, Retno mengajukan disertasi berjudul “Bertahan di Tengah Menguatnya Kekuasaan Kolonial dan Modernisasi: Bupati-Bupati di Karesidenan Besuki Jawa Timur 1820-an – 1930-anâ€.
Retno mengungkapkan untuk mempertahankan kedudukannya, para bupati berusaha melakukan adaptasi dan membangun hubungan simbiotik yang baru. Upaya strategis tersebut diwujudkan dengan menyesuaikan dan menyiasati berbagai kebijakan modernisasi. Strategi tersebut berhasil meminimalisir dampak-dampak yang tidak menguntungkan dari implementasi kebijakan yang ada. Langkah lain dilakukan dengan meningkatkan kemampuan dan keahlian dalam bidang pendidikan dan administrasi agar keturunan bupati tetap memiliki kesempatan untuk menjadi pengganti dalam sistem perekrutan bupati yang baru. Seperti yang dilakukan Bupati pertama Besuki, Raden Adipati Ario Prawiro Adiningrat pada tahun 1829 mendirikan sekolah kabupaten agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan barat. “Paar bupati juga mengadakan praktek magang untuk melatih keturunannya dalam mempratekkan pengetahuan teoritis mereka yang didapat di sekolah baik tentang administrasi maupun pemerintahan,†terang wanita kelahiran Blitar 53 tahun silam ini.
Adaptasi dan siasat terhadap kebijakan kolonial, lanjutnya, juga dilakukan terhadap kebijakan tentang penghapusan hak feodal bupati, terutama hak pelayanan kerja wajib untuk kebutuhan para bupati. Kebijakan ini disiasati dengan memanfaatkan hak menguasai langsung sejumlah tenaga kerja (pancen) yang masih dibebankan kepada para kepala desa dan pejabat desa. “Pemerintah kolonial tidak melakukan tindakan apap pun terhadap praktek semacam ini, seperti dengan membiarkan pengerahan tenaga kerja wajib baik untuk kepentingan pribadi bupati ataupun negara. Hal itu dilakukan karena mereka sadar bahwa pengerahan tenaga kerja wajib tetap dibutuhkan untuk pekerjaan umum memperbaiki fasilitas negara,†urainya.
Retno menuturkan bahwa modernisasi birokrasi yang coba dilakukan pemerintahan kolonial di Karesidenan Besuki menjadi sulit untuk diterapkan karena dalam pelaksanan kebijakan birokrasi berlangsung secara kompromistis. Oleh sebab itu modernisasi yang awalnya ditujukan untuk menciptakan birokrasi moderen yang legal rasional hanya menjadi sebatas idealisme yang sulit diwujudkan. (Humas UGM/Ika)