Keramik Singkawang hingga kini masih bertahan dengan motif tradisinya, meskipun pengaruh luar sangat kuat mendera. Para pengeramik dari Singkawang pun tetap mempertahankan motif-motif ornamennya hingga terkesan mereka menutup kemungkinan pengaruh perkembangan dari luar.
Menurut Dra. Noor Sudiyati, M.Sn, ada kesan para pembuat keramik dari Singkawang menutup pewacanaan untuk berubah. Hal tersebut terjadi karena keyakinan yang dipegang sangat kuat. Etnis Cina sangat menjaga dan menghargai orang tua, leluhur dan negeri leluhurnya (Xiao dan Zhong).
“Sebagai penjaga gawang tradisi leluhur, etnis Cina di Singkawang kurang merasakan atmosfir tradisi setempat, tidak ada sedikitpun unsur teritorial yang masuk estetikanya,” ujar Noor Sediyati, di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (2/10)
Dosen Jurusan Kriya, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, mengatakan hal itu saat menempuh ujian terbuka program doktor UGM Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukkan dan seni Rupa. Mempertahankan desertasi “Keramik Singkawang Kalimantan Barat Kajian Aspek Estetika”, promovenda didampingi promotor Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc dan ko-promotor Prof. Dr. Soebakdi Soemanto, S.U serta Prof. Drs. SP. Gustami, S.U.
Kata Noor Sediyati para perajin keramik di Singkawang terkesan apatis terhadap pengaruh pengembangan. Dengan sikap tersebut mereka memiliki kekurangan-kekurangan yang lain, yakni mereka hanya terfocus pada motif-motif peninggalan tradisi, tidak menghiraukan unsur-unsur lain dalam sebuah keramik silindris secara keseluruhan.
Kehalusan dari sebuah body keramik putar, kata Noor Sediyati, tidak diperhatikan. Demikian pula komposisi penggunaan warna glasir tidak digarap dengan baik, pembentukan kaki kurang diperhitungkan dan tanpa footrim, bentuk bibir keramik tidak mencapai finish yang apik, kesesuaian ukuran objek motif yang seharusnya sebagai pendukung sangat mendominasi sehingga tidak seimbang. Jika dilihat dari estetika keramik putar belum mencapai keseimbangan atau ‘belum’ mencapai nilai tinggi sebagaimana keramik putar bentukan tangan yang ‘elegant’. “Hal itu tentu dapat dipahami sebab estetika kontekstual lebih kuat daripada estetika tekstual,” tuturnya.
Beberapa ornamen bercirikan budaya Cina yang sangat dominan diantaranya ornamen dengan motif Delapan Dewa, Naga, dan Bunga yang tumbuh dan hidup di negeri Cina, seperti bunga krisan (chrysantemum), Peony (Paeonia), Persik (Prumus Persica), Lotus (Nelumbonaceae). Ketiga motif tersebut mendominasi sebagai ornamen dan menjadi ciri khas Keramik Singkawang.
Dikatakan penerapan motif pada keramik Singkawang memiliki nilai dan makna dari latar belakang estetika kontekstual pembuatnya. Bahwa motif yang dihadirkan dalam ornamen pada artefak mampu menguak bagaimana peradaban dari para pembuatnya. Motif dibuat tidak sekedar menghiasi sesuatu, namun memiliki makna dan nilai yang terkandung dibelakangnya. “Motif menjadi warisan yang sangat strategis dalam memproduksi nilai dan keyakinan. Seni yang memiliki nilai Ilahiah akan abadi keberadaannya, karena memiliki kebaikan, kebenaran, kebijaksanaan dan keselarasan, serta membawa pada tujuan untuk berkontemplasi menuju sikap manembah kepada Sang Pencipta,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)