YOGYAKARTA – Banyak cara untuk menjaga hutan tetap lestari. Bukan saja lewat pendekatan keamanan seperti yang dilakukan pemerintah namun menerapkan aturan hukum adat yang berlaku dalam komunitas tertentu. Masyarakat Kajang, Bulukumba Sulawesi Selatan dan Masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, mempunyai cara sendiri dalam menjaga hutan dan menyelesaikan konflik pengelolaan sumber daya hutan.
Dalam Masyarakat Kajang, bagi yang melanggar akan diberi sanksi berdasarkan berat dan ringannya tingkat pelanggaraannya. Pertama, hukuman Babbala (cambuk). Umumnya pelanggar dihukum denda 12 real atau setara Rp 1,2 juta, 8 real atau Rp. 800 ribu dan 4 real atau Rp 400 ribu. Masing-masing ditambah satu gukung kain putih. Kedua, hukuman Attunu Panroli (pembakaran linggis). Lewat upacara pembakaran linggis oleh Ammatoa, bertujuan untuk mengetahui siapa yang jujur diantara warga. Bagi yang tidak terbakar setelah memegang linggis yang berwarna merah menyala dianggap jujur. “Dengan cara itu orang yang melakukan pelanggaran akan mengakui kesalahannya,†kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Caritas Woro Murdiati, SH.,M.Hum dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Hukum UGM, Jumat (12/10).
Ketiga, hukuman Attunu Passau (Pembakaran sarang lebah). Yakni, mereka yang menghindar dari hukuman atau melarikan diri ke luar daerah. Para Ammatoa akan berkumpul, lalu mengambil sarang lebah untuk dibakar setelah sebelumnya diberi mantra. “Komunitas Ammatoa meyakini bahwa selama passau masih ditiup maka si pelanggar tidak bisa menghindar. Menurut mereka si pelaku akan memperoleh sanksi seperti perut membengkak, terjangkit penyakit kusta, lupa ingatan yang tidak sembuh hingga mengalami kematian,†kata Murdiati.
Sedangkan dalam masyarakat desa Tenganan Pegringsingan, Bali, punya cara tersendiri untuk membuat jera para pelanggar. Bila memotong kayu maka harus dibayar dengan seharga kayu yang diambil, ditambah dengan denda. Atau pun ada orang luar mengambil buah-buhahan larangan, seperti durian, pangi, kemiri dan tehep maka akan dikenakan denda 10 catu (25 kg beras). Denda tersebut nantinya akan dibagi dua, setengahnya untuk dibagikan ke kas desa dan setengahnya lagi untuk si pelapor. Tidak hanya itu, hukum adat juga mengatur ketentuan larangan menjual atau menggadaikan tanah ke luar desa, jika dijual maka tanah tersebut akat disita.
Menurut Murdiati, keberhasilan dua komunitas adat ini dalam menjaga hutan perlu diapresiasi dan perlu mendapat pengakuan dari pemerintah. Pasalnya, keberhasilan masyarakat hukum adat dalam memelihara sumber daya hutan sangat sulit mendapatkan pengakuan dari negara terutana pengakuan secara de yure. “Masyarakat hukum adat yang mempertahankan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya hutan perlu diberdayakan sebagai mitra yang sejajar bagi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya hutan,†ungkapnya.
Oleh karena itu, untuk menjaga hutan, hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya hutan harus diakui dan dijamin. Karenanya, pemerintah dalam mengelola sumber daya hutan perlu menggunakan pendekatan sosial budaya. Pendekatan keamanan saja tidak cukup. “Pendekatan keamanan selama ini belum optimal dalam mengelola sumber daya hutan,†imbuhnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)