Upaya konservasi terhadap tumbuhan dan satwa liar di Indonesia belum dilakukan dengan tepat. Hal ini terlihat dari penetapan kategori perlindungan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilakukan masih mengacu pada kebijakan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
Menurut Hero Marhaento, S.Hut., M.Si., dosen program studi Konservasi Sumber Daya Hutan (KSDH) Fakultas Kehutanan UGM, pengkategorian jenis satwa dan tanaman liar Indonesia seharusnya dibuat dengan melihat kondisi dalam negeri bukan mengekor dokumen CITES. Dengan begitu, perlindungan terhadap keanekaragaman hayati Indonesia bisa tepat sasaran.â€Penetapan kategori perlindungan hewan dan tanaman liar dalam RUU Keanekaragaman Hayati (Kehati) masih terlihat mengikuti kebijakan CITES, tidak disesuaikan dengan kondisi keanekargaman hayati yang dimiliki,†ujarnya.
Dicontohkan, untuk jenis spesimen kera ekor panjang termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi dalam CITES karena keberadaannya yang sudah langka. Namun di Indonesia hewan ini populasinya tergolong besar dan justru menjadi hama pengganggu bagi para petani. “Kalau menganut CITES hewan yang sebenarnya tidak tergolong langka malah dilindungi dan sebaliknya yang langka bisa saja terlewat,†jelasnya, Kamis (18/10) di Fakultas Kehutanan UGM.
Hero menyebutkan bahwa Indoensia telah memiliki dokumen klasifikasi keanekargaman hayati Indonesia yang dilindungi dalam PP No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tanaman dan satwa liar. Kendati begitu, dokumen yang ada tidak pernah diperbaharui setiap tahunnya. “Indonesia butuh dokumen sendiri untuk mendefinisikan jenis satwa dan tanaman liar langka yang seharusnya selalu di up date tiap tahunnya agar perlindungan bisa efektif ,†tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut Hero juga mengatakan bahwa dibukanya peluang pengelolaan kawasan konservasi pada pihak swasta seperti yang tertuang dalam RUU Kehati menjadikan perlindungan satwa dan tanaman liar efektif . Disamping itu juga dapat membantu negara dalam hal penganggaran konservasi. Akan tetapi di satu sisi, masuknya pihak swasta dalam pengelolaan kawasan konservasi bisa merugikan karena eksploitasi secara berlebihan terhadap keanekaragaman hayati Indonesia. “Dalam RUU Kehati ini draftnya terlalu detail untuk level undang-undang sehingga malah menyulitkan bahkan merugikan dalam pengelolaan kawasan konservasi,†terangnya.
Hero menuturkan Fakultas Kehutanan UGM turut berpartisipasi dalam upaya membangun kebijakan pemerintah dalam mengatur keanekaragaman hakyati Indonesia dengan mengkritisi dan memberikan masukan terhadap naskah RUU Kehati. Perhatian Fakultas Kehutanan terhadap konservasi kenaekaragaman hayati Indonesi ajuga terlihat dalam peringatan dies natalisnya ke-49. Dalam peringatan dies yang mengambil tema “Penguatan Jejaring Rimbawan Dalam Membangun Kembali ekosistem Hutan†turut diurai isu konservasi Indonesia dalam workshop “Membedah UU No. 5 Tahun 1990 dan RUU Penggantinya†(18/7). Selain itu juga mengadakan seminar nasional berjudul “Menata Ulang Arah Konservasi Kenekaragaman Hayati dan ekosistemnya Bagi Kesejahteraan Rakyat Secara Berkelanjutan (19/10) yang akan menghadirkan Menteri Kehutanan RI, H. Zulkifli Hasan, S.E., M.M., sebagai pembicara kunci. Selain itu juga menghadirkan narasumber lain yaitu Ketua Komisi IV DPR RI, Mochammad Romahurmuziy, Ketua Pokja penyusun RUU Kehati, Ir. Hartono, M,.Sc., dan Prof. Dr. Joko Martono, akademisi. Pada malam harinya akan diselenggarakan orasi motivasi oleh Gubernur DKI Jakarta, Ir. Joko Widodo dan pentas ketoprak Humor yang mengambil lakon “Sam Pek Eng Tayâ€. Selanjutnya digelar jalan sehat oleh keluarga besar Fakultas Kehutanan (20/10) sebagai penutup rangkaian acara reuni. (humas UGM/Ika)