Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan bahwa pemerintah membuka peluang bagi masyarakat lokal untuk mengelola kawasan konservasi hutan lindung. Langkah tersebut diharapkan mampu mengurangi tingkat kerusakan hutan lindung dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan konservasi.
“ Tujuan konservasi tidak hanya perlindungan kenekaragaman hayati saja, tetapi juga pemanfaatannya bisa mensejahterkan masyarakat sekitarnya,†katanya Jum’at (19/10) di Fakultas Kehutanan UGM.
Dalam Seminar Nasional “Menata Ulang Arah Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya Bagi Kesejahteraan Rakyat Secara Berkelanjutan†Zulkifli mengatakan sebelumnya dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1990 diatur pengelolaan kawasan konservasi sepenuhnya dikelola oleh negara. Sementara dalam Rancangan Undang-undang Kenekaragaman Hayati (Kehati) membuka peluang adanya pihak swasta termasuk masyarakat untuk mengelola kawasan konservasi.
Menurut Zulkifli dukungan masyarakat sekitar hutan menjadi penting dalam upaya konservasi kenekaragaman hayati. Untuk itu Kemehut mengembangkan kebijakan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan daerah penyangga. Masyarakat sekitar hutan konservasi diberi kesempatan untuk melakukan penangkaran flora dan fauna, pemandu wisata dan kegaitan penelitian, pengembangan kerajinan lokal serta mengembangkan pengetahuan lokal. Bahkan melalui Permenhut P.48/Menhut-II/2010, pemerintah memberikan akses legal untuk masyarakat sekitar hutan menjadi pengelola usaha wisata alam. “Dengan begitu masyarakat mampu meningkatkan kewirausahaan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konservasi yang pada gilirannya dapat meningkatkan perekonomian mereka. Masyarakat sejahtera tanpa mengorbankan hutan,â€urainya.
Saat ini terdapat setidaknya 6.200 desa yang berada di kawasan hutan konservasi Indonesia. Dengan membuka akses pengelolannya kepada masyarakat diharapkan mampu mengurangi berbagai macam tindakan yang dapat merusak hutan seperti illegal logging, perambahan hutan, dan rusaknya ekosistem. Dicontohkannya, kerusakan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Kerinci melibatkan sekitar 12.000 orang. “Kalau masyarakatnya terlibat semua bisa habis hutan kita, mau nangkap juga tidak bisa. Ya, itu memang bukan salah mereka,†jelasnya.
Oleh sebab itu pemerintah memberi akses masyarakat untuk mengeelola hutanagar masyarakat sekitar mendapatkan penghasilantambahan yang mensejahterakan. “Dengan demikian akan timbul sense of belonging yang akhirnya secara bersama-sama akan mengamankan hutan seperti miliknya sendiri. ,â€terangnya.
Prof. Djoko Marsono, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM menilai sampai saat ini pengelolaan sumber daya hutan masih bersifat antroposentris yang kurang menhargai peranan perlindungan sistem penyangga kehidupan. Salah satunya seperti yang terihat dalanm definisi hutan produksi dalam UU No. 41 Tahun 1999, RKYN, dan RKTP, dan desain pembangunan HTI. Selain itu penilaian kawasan hutan terlihat rendah jarena hanya didasarkan atas produk dan jasa buka berdasar valuasi ekonomi yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. “Akibatnya degradasi hutan semakin meningkat,†katanya.
Dalam kesempatan itu Djoko Marsono juga menyototi tentang draft RUU Kehati. Menurutnya RUU Kehati cenderung mengabaikan aspek ekosistem dan mengingkari peran kawasan konservasi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. “Dalam RUU Kehati disebutkan bahwa kawasan konservasi sebagai benteng terakhir hutan tropika sering hanya dimaksudkan sebagai benteng terhadap pengawetan dan pemanfaatan flora fauna, mengabaikan ekosistem yang justru akan menimbulkan kerugian immaterial yang semakin banyak,†ujarnya. (Humas UGM/Ika)