Mengawali Pekan Seni dan Budaya dalam rangka Dies ke-63 UGM, Rektor Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc menyampaikan Pidato Kebudayaan UGM Untuk Jogja. Pidato Kebudayaan yang berlangsung di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasumantri, Senin malam (22/10) berlangsung meriah diwarnai pembacaan puisi, penampilan gamelan kontemporer dan pameran lukisan perupa Jogja.
Dihadapan para seniman, budayawan dan akademisi, rektor mengatakan “UGM Untuk Jogja” menegaskan bentuk pengabdian, kecintaan, dedikasi dan kesetiaan UGM untuk Jogja. Jogja bukan sebagai ruang spasial dalam peta geografi, namun Jogja sebagai konsep abstrak yang menggambarkan nilai budaya, nilai perjuangan, cara berpikir, cara hidup dn bergaul. “Kebudayaan Jogja dalam ke-Indonesiaan telah menginspirasi pendirian dan pengisian kemerdekaan Indonesia. Bahkan ketika embrio Indonesia dilahirkan hampir secara paksa oleh para founding fathers, Jogja menjadi salah satu pengasuh setianya dan Jogja melindungi Indonesia baru dengan menjadi ibukotanya serta menjadi pelindung para pemimpinnya,” ujar rektor.
Jogja, kata rektor, turut andil membangun karakter Indonesia yang baru, sebab di kota inilah putra-putri dari seluruh nusantara dipersatukan, belajar bersama, hidup dalam masyarakat. Di kota ini pula wong Jowo, wong Sumantrah, wong Sebrang dipersatukan dan di-Indonesia-kan.
Meski begitu, Jogja tidak men-Jogja-kan wong Sebrang dan wong Sumantrah, namun Jogja yang meng-Indonesia-kan para tamunya. Dalam kekinian, Jogja dengan suka cita meleburkan dirinya dan tidak lagi mengenal konsep Sumantrah atau Sebrang. “Yang ada adalah ke-Indonesia-annya,” katanya.
Rektor merasakan UGM yang lahir dalam semangat ke-Indonesiaan, telah dibesarkan oleh Jogjakarta dan menyerahkan UGM untuk Indonesia. 13 pemimpin UGM menjadi contoh ilustrasi kecil bagaimana Jogja bukan saja membiarkan, namun juga mendukungnya. Rektor pertama, Prof. sardjito lahir di Magetan, Prof. Herman Johannes di NTT, drg. Nazir Alwi di Sumatra Tengah, Prof. Soeroso di Semarang, , Prof. Sukadji di Blitar, Prof. T. Jacob di Aceh, Prof. Koesnadi di Tasikmalaya, Prof. Moh. Adnan di Blora, Prof. Sukanto di Semarang, Prof. Ichlasul Amal di Jember, Prof. Sofian Effendi di Bangka dan Prof. Sudjarwadi di Klaten.
“Saya sendiri dari Bojonegoro, hal ini tentu menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Jogja tidak pernah canggung untuk meleburkan diri menjadi Indonesia. Jogja tidak pernah canggung membuka diri untuk Indonesia. Jogja tidak pernah canggung untuk memegang teguh nilai Jawa dalam ke-Indonesiaan. Jogja tidak pernah canggung untuk memegang teguh tradisi di tengah keglobalan dan pengembangan ilmu pengetahuan,” tutur rektor.
Sebagai pribadi yang telah tinggal lama di Jogja, rektor mengakui Jogja bukan saja sebagai arena bersama bagi bertemunya warga dari berbagai etnis, agama dan daerah. Tetapi juga menjadi arena bertemunya kemajuan dengan kepedulian, arena bertemunya tradisi dan kemajuan serta arena bertemunya seni dengan ilmu pengetahuan. “Karena itu pertemuan kita malam ini ingin meneguhkan kembali simpul-simpul tersebut, simpul pertemuan, simpul kesinambungan, dan simpul keselarasan. Hal yang jarang dilakukan para seniman bertemu di kampus yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan dan pengetahuan. Kegiatan ini tentu saja bukan karena kita ingin tampil beda, kita benar-benar ingin meneguhkan jati diri Jogja dan jati diri UGM,” tandasnya. (Humas UGM/ Agung)