Kotak besi kecil itu tampak masih kokoh, hanya warna tiang penyangganya kelihatan pudar dan mulai berkarat. Dipasang di atas bukit, dari kejauhan kotak itu tak ubahnya seperti sangkar burung, apalagi di atasnya bertengger atap yang selalu melindungi. Apabila didekati, di dalam kotak terpasang kompas dan ektensometer. Namun, alat itu hanya dimanfaatkan warga Dusun Ledoksari saat musim hujan tiba. Apa pasal?
Kotak yang ini memang bukan sembarang kotak. Ia merupakan alat pendeteksi jika suatu waktu akan terjadi longsor. Dari kotak tersebut tersambung kawat yang dihubungkan ke sirine yang dipasang di rumah penduduk. Bila ada retakan tanah dengan jarak tertentu, kawat yang mengalami regangan akan membunyikan sirine. Bunyi sirine menjadi tanda bahwa penduduk harus segera menyingkir ke tempat yang lebih aman.
Beruntung, sejak dipasang pada akhir 2007 lalu, sirine itu belum pernah berbunyi. “Alat ini kita fungsikan saat musim hujan saja. Kalau hujan deras, biasanya bapak-bapak ronda semalaman di depan rumah, jaga-jaga bila sirine berbunyi,†kata Wagimin (37), Ketua RT 04 Dusun Ledoksari, Tawang Mangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Ada empat alat yang dipasang di dusun tersebut. Alat-alat itu dipasang pasca musibah longsor yang merenggut 35 korban jiwa di penghujung tahun 2007. Alat dipasang oleh mahasiswa KKN-PPM UGM bersama dengan warga setempat. Untuk pengadaan alat, masyarakat tidak dikenai biaya. “Selama dua bulan, kita diajak ikut pelatihan,†tambah Wagimin.
Sekitar 170 kepala keluarga menempati Dusun Ledoksari, dengan ancaman longsor yang terus mengintai. Permintaan pemerintah untuk dilakukan relokasi tidak dihiraukan oleh warga yang sebagian besar merupakan petani sayur dan pedagang.
Alat deteksi longsor hasil karya dua dosen Fakultas Teknik UGM, Prof. Dr. Dwikorita Karnawati dan Faisal Fathani, M.T., Ph.D., telah dipasang di 30 lokasi di Indonesia. Alat itu bahkan telah mendapatkan tiga paten sejak dipatenkan pertama kali pada 2007. Ikhwal penemuan alat dimulai tahun 2003. Saat itu, Asean University Network (AUN) menunjuk Dwikorita membimbing empat mahasiswa program master dan doktor yang dibiayai JICA untuk meneliti longsor di Indonesia. Oleh JICA, para mahasiswa dan dosen pembimbing dikirimi lima set alat deteksi longsor buatan Jepang. Alat itu kemudian dipasang di perbukitan Menoreh, Kulon Progo, yang telah dikenal sebagai daerah rawan longsor. Hanya saja, pengoperasian alat tergolong cukup rumit. Bahkan, saat alat rusak, mereka kewalahan tidak dapat memperbaiki dan harus mengirim kembali ke Jepang, ditambah lagi harganya pun cukup mahal. “Alat itu cukup rumit, teknisinya sangat tergantung dengan apa yang Jepang gariskan. Harus dipantau tiap hari. Repot banget, tiap hari harus ada orang datang mengambil data,†jelas Dwikorita.
Dari pengalaman tersebut, Dwikorita berpikir jika semua alat bergantung pada negara pembuat, pengoperasiannya akan selalu sulit. Ia pun menyampaikan kegelisahan yang dirasakan kepada koleganya, Faisal Fathani, M.T., Ph.D., dosen Jurusan Teknik Sipil yang saat itu baru saja pulang dari menempuh pendidikan doktor di Jepang tahun 2005. “Pak Faisal, kita punya alat-alat. Kan Pak Faisal ilmunya dari Jepang, coba kita bisa buat alat sendiri, tidak serumit alat dari Jepang ini, tapi teknologinya selevel,†kata Dwikorita mengisahkan pembicaraan kala itu.
Gayung bersambut. Keduanya terus berdiskusi menuangkan ide masing-masing. Secara kebetulan, ada permintaan dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal untuk dibuatkan alat peringatan dini bencana longsor. “Kita makin semangat untuk merealisasikan pemikiran itu. Lalu rembuk bersama, model peringatan dininya seperti apa. Saya sampaikan, alat itu jangan seperti bantuan Jepang karena kita sulit mengoperasikan. Sebaiknya mudah diterapkan di daerah yang belum berkembang,†tutur Dwikorita. “Ide dari kita, kemudian pembuatan peralatan teknisnya kita libatkan bengkel-bengkel lokal,†tambah Faisal.
Kendati telah sepakat membuat alat tersebut, dalam pengerjaan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Tiap hari Faisal membongkar dan mengutak-atik alat buatan Jepang yang sudah menjadi rongsokan. Namun, ide belum juga muncul. Satu bulan berjalan, belum ada kemajuan. Faisal mengaku bukan hal yang mudah untuk mewujudkan ide membuat alat itu. Di lain pihak, Dwikorita tetap tidak patah semangat. Ia senantiasa menyemangati Faisal agar alat yang dicita-citakan dapat segera dibuat. ”Mbok jadinya seperti bambu yang dipasang juga nggak apa-apa, Pak. Pokoknya kita bikin sendiri,” ujar Dwikorita menceritakan kejadian waktu itu.
Faisal lantas menggandeng seorang alumnus Jurusan Instrumentasi yang tengah menempuh pendidikan master di Jurusan Geologi. Mereka pun bekerja siang dan malam. Dwikorita tidak lupa memberikan idenya untuk penyempurnaan alat. Enam bulan berselang, alat deteksi generasi pertama berhasil dibuat. “Pokoknya kerja siang malam. Pernah sampai jam satu malam itu hanya duduk mikir saja sambil melihat alatnya,†kenang Faisal.
Alat generasi pertama yang dibuat masih terbilang sederhana karena hasil deteksi pergeseran dan pergerakan tanah harus dicatat secara manual dengan mendatangkan petugas ke lokasi. Berbeda dengan generasi kedua dan ketiga, data yang muncul langsung direkam dalam data memori dan dikirim langsung secara on line melalui internet. Namun, pada prinsipnya kerja alat hampir sama.
Dikatakan Faisal bahwa cara kerja alat adalah mendeteksi jarak keretakan tanah untuk menentukan potensi terjadi longsor. Apabila dalam kondisi bahaya, alat akan mengirimkan sinyal sehingga sirine berbunyi sebagai bentuk peringatan dini. Ketika sirine berbunyi, masyarakat harus waspada dan melakukan evakuasi. Suara sirine terdengar hingga radius 500 meter. “Karenanya untuk pengoperasian alat dan perawatannya kita selalu libatkan masyarakat,†kata Faisal.
Dwikorita menuturkan penyempurnaan alat deteksi longsor tersebut masih terus dilakukan dan telah memasuki generasi ketiga. Alat juga telah mendapatkan hak paten dan penghargaan internasional. Alat deteksi longsor generasi pertama telah ditiru dan dipasarkan oleh pabrikan China. “Hal itu terjadi setelah beberapa peneliti asal China kita ajak meninjau lokasi keberadaan alat tersebut di Kebumen,†kata Guru Besar Jurusan Geologi ini.
Kini, pembuatan alat telah menggunakan 95 persen komponen lokal. Harga tiga jenis alat deteksi longsor ini bervariasi, menyesuaikan dengan tingkat kecanggihannya. “Harganya berkisar 5 juta hingga 20-an juta rupiah,†ujar Dwikorita. Hingga saat ini sudah 30 alat yang dipasang di beberapa lokasi di daerah-daerah rawan longsor di Pulau Jawa dan luar Jawa. Beberapa di antaranya terdapat di Kebumen, Karanganyar, Banjarnegara, Situbondo, Kulon Progo, dan daerah pertambangan di Kalimantan.
Kisah sukses pernah ditorehkan oleh alat yang bernama ektensometer ini. Lantaran alat ini, penghuni 30 rumah berhasil diselamatkan saat terjadi bencana longsor di Banjarnegara pada November 2007. Alat tersebut sengaja dipasang untuk memantau regangan tanah maksimal 5 cm sehingga ketika hujan lebat waktu itu mengakibatkan retakan tanah sejauh 5 cm, sirine pun berbunyi. Warga penghuni rumah sontak menyelamatkan diri sebelum longsor terjadi. Berikutnya, alat ikut tertimbun oleh longsor. “Masyarakat berhasil menemukannya kembali. Kita minta direlakan saja, nanti diganti yang baru. Tetapi mereka masih ingin menyimpannya, menganggap alat ini telah menyelamatkan nyawa mereka,†tutur Dwikorita.
Baru-baru ini tutur Dwikorita, alat deteksi longsor ini sudah di Pesan sebuah perusahaan tambang di Myanmar. Sebanyak 100 unit akan dikirim ke sana. “Pihak United Mercury Group telah memesan sekitar 100 unit,†kata Dwikorita.
Alat yang sempat dipamerkan dalam pertemuan menteri-menteri Asia dalam konferensi pengurangana risiko bencana di Jogjakarta Expo Center 22-25 Oktober 2012, mendapat sambutan positif dari presiden SBY saat menengok alat tersebut. “Presiden sempat bertanya dimana saja alat ini sudah digunakan. Beliau meminta agar tetap dilanjutkan,†kata Faisal. (Humas UGM/Gusti Grehenson)