YOGYAKARTA – Sedikitnya 400 pelajar Yogyakarta ambil bagian dalam Deklarasi Sekolah Indonesia Sejahtera yang dilaksanakan bersamaan perayaan hari Sumpah Pemuda, Minggu, 28 Oktober. Rencananya, deklarasi disampaikan langsung di kawasan titik Nol Kilometer, Malioboro, oleh ratusan pelajar dari perwakilan 10 SMA/SMK. Mereka akan menyampaikan empat butir isi deklarasi, yakni, pertama, pernyataan kecintaan pada tanah air. Kedua, komitmen menjunjung tinggi nilai budaya, disiplin serta adab dan etika. Ketiga, berjanji untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan dan keempat, berkomitmen untuk saling menjaga dan tidak saling menjatuhkan.
Salah satu penggagas acara deklarasi, Rahmat Hidayat, M.Sc., Ph.D., mengatakan deklarasi pelajar tersebut bertujuan untuk meningkatkan perhatian masyarakat dan pemangku kebijakan akan pentingnya keberadaan sekolah sejahtera yang tidak hanya fokus pengembangan intelektualitas tapi juga mengoptimalkan pengembangan potensi diri dan kesehatan mental siswa. “Karena sekolah sekarang ini lebih cenderung pada pengembangan intelektualitas semata,†kata Rahmat kepada wartawan ditemui di Fakultas Psikologi, Kamis (25/10).
Peneliti Center for Public Mental Health (CPMH), Fakultas Psikologi UGM, menjelaskan kriteria sekolah sejahtera sekurang-kurangnya memiliki empat syarat utama, meliputi, kondisi lingkungan sekolah yang sehat dan kondusif, interaksi sekolah yang baik dengan seluruh elemen sekolah, kesempatan siswa untuk mengaktualisasi diri dan mengembangkan potensi, dan status kesehatan fisik dan mental yang lebih baik.
Munculnya gagasan sekolah sejahtera ini dilatarbelakangi atas hasil survei yang dilakukan (CPMH) Fakultas Psikologi terhadap siswa SMU dan SMK di empat kota besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menemukan tingginya tingkat kasus kekerasan di sekolah. Dari survei ini juga diketahui relatif tingginya perasaan tidak puas siswa terhadap situasi kehidupan mereka di sekolah. Di luar itu, ditemukan masalah kesehatan mental dan psikososial dalam tingkat sedang ditemukan kurang lebih sepertiga dari responden. “40 persen siswa mengaku merasa tidak nyaman dan kurang puas dengan kondisi lingkungan sosial sekolahnya,†katanya
Lebih dari itu, sebanyak 12 persen siswa mengaku pernah mendapat kekerasan. Tingkat cedera akibat kekerasan mencapai 15 persen dari seluruh siswa. Sedangkan 8 persen siswa mengaku pernah melihat kekerasan dalam 8 bulan terakhir.
Psikolog Drs. Haryanto, M.Si., menuturkan kondisi lingkungan sekolah mempengaruhi kesehatan fisik dan mental siswa dalam membantu peningkatan aktualiasasi diri. “Guru, orang tua, dan interkasi antar siswa membantu terbentuknya suasana nyaman di sekolah,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)