YOGYAKARTA-Konflik berupa bentrok antarwarga di Lampung Selatan (28-29/10) lalu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya dan kembali terulang. Konflik tersebut tidak hanya melibatkan suku-suku yang ada di sana namun memiliki akar persoalan yang lebih dalam lagi.
Pakar resolusi konflik dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Prof. Mohtar Mas’oed mencontohkan beberapa konflik yang sempat terjadi sebelumnya seperti yang terkait pada persoalan transmigrasi, Perkebunan Inti Rakyat (PIR) hingga tambak udang.
“Ini kasus yang berulang dan lebih dalam lagi akar-akar persoalannya. Nah, kebetulan dipicu persoalan perempuan kemudian ini kasusnya membesar hingga muncul korban,â€kata Mas’oed pada diskusi di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Kamis (1/11).
Kepala PSKP UGM ini menambahkan konflik di Lampung juga terkait dengan faktor sejarah dan sosiologis. Ia menyebut politik etis di jaman Hindia Belanda tentang program irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Hal ini menyebabkan terjadinya proses state building dan akumulasi kapital sehingga memunculkan perubahan demografi. Perubahan tersebut salah satunya kemudian menyebabkan gesekan antara warga asli dengan pendatang (transmigran).
“Yang sering dijumpai warga pendatang terkadang orangnya lebih rajin sehingga memunculkan sikap defensif ‘putra daerah’,â€imbuhnya.
Hal senada dikemukakan oleh peneliti PSKP lainnya, Drs. Samsu Rizal Panggabean, M.Sc. Rizal menilai terulangnya konflik tersebut menunjukkan kegagalan dari pemerintah khususnya aparat keamanan untuk mencegah terjadinya konflik karena terjadi di tempat yang memang rawan sebuah konflik terulang lagi.
“Penanganan konflik di sini harus lebih serius dari apa pun yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, polisi, dan tokoh masyarakat di Lampung Selatan setelah insiden-insiden sebelumnya,â€kata Rizal.
Aparat keamanan, kata Rizal, tidak berhasil menurunkan ketegangan dan mencegah kekerasan karena intervensi mereka dilakukan ketika konflik sudah hampir meluas. Yang terjadi bukan pembiaran tetapi kegagalan mencegah kekerasan pada tahap awal konflik.
Selain itu masyarakat di daerah yang rawan konflik ini tidak memiliki mentalitas pencegahan. Yang ada adalah mentalitas pendekatan penanggulangan penindakan ketika kekerasan terjadi atau sesudahnya. Untuk kabupaten yang memiliki banyak indikator konflik, termasuk insiden dan kekerasan yang berulang seperti di Lampung Selatan, pencegahan harus menjadi pendekatan utama pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat.
“Pengalaman ini menunjukkan rekam jejak polisi, militer, dan pemerintah tidak bagus dalam menanggulangi kekerasan yang sebelumnya terjadi,â€pungkasnya (Humas UGM/Satria AN)