Kementrian Kesehatan RI mensyaratkan seluruh perawat harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) . Tanpa kepemilikian STR perawat tidak diperbolehkan memberikan pelayanan kesehatan maupun membuka praktek.
Keputusan tersebut diambil sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh karenanya setiap perawat diwajibkan melakukan uji kompetensi secara nasional hingga dinyatakan layak memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan diakui secara hukum yang dibuktikan dengan kepemilikan STR .
“Sesuai peraturan menteri kesehatan RI No 1796/menkes /per/VIII2001 setiap tenaga kesehatan termasuk perawat yang akan menjalani pekerjaannya wajib memiliki STR yang didapat melalui uji kompetensi nasional. Mulai 2013 mendatang setiap lulusan perawat harus ikut ujian kompetensi nasional. Hal ini baik untuk menjamin lulusan terstandar secara nasional ,†kata Dr. Fitri Haryanti, SKp. , M.Kes., staf pengajar FK UGM Selasa (6/11) di Kampus Setempat.
Fitri menyebutkan perawat selama ini memberikan pelayanan hanya dengan mengantongi Surat Ijin Perawat (SIP). SIP akan diperoleh secara otomatis dengan mengajukan ke lembaga terkait tanpa melalui uji kompetensi nasional perawat. “ Tidak adanya uji kompetensi nasional ini salah satunya menyulitkan perawat Indonesia untuk bekerja di luar negeri . Mereka jadi tidak diakui kompetensinya,†papar anggota Majelis Etik Persatuan Perawat Nasional ndonesia (PPNI) DIY ini.
Diakuinya, langkah Kemenkes yang mewajibkan perawat harus memiliki STR adalah tepat. Pasalnya , perawat merupakan salah satu profesi penting dalam pelayanan kesehatan sehingga dibutuhkan upaya penataan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi keperawatan. Salah satunya dengan menetapkan lulusan perawat melakukan uji kompetensi nasional untuk menjamin lulusan terstandar secara nasional.
Sementara bagi perawat yang lulus sebelum tahun 2012 akan mendapatkan STR melalui proses pemutihan. Dilakukan dengan mengajukan permohonan secara kolektif dari lembaga ke Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) maupun Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI).
“ Di DIY dan bberapa daerah sebenarnya sudah ada uji kompetensi lokal bagi perawat, dengan soal ujian tulis yang dibuat oleh pusat. Sedangkan ujian prakteknya dilakukan oleh panitia lokal,†terangnya.
Dengan pelaksanaan uji kompetensi di setiap daerah, lanjut Fitri, hasil yang diperoleh menjadi sangat beragam. “Karena dilakukan di berbagai daerah maka variasinya sangat tinggi. Untuk itu melalui uji kompetensi nasional ini bisa didapat standar kompetensi yang seragam secara nasional,†jelasnya.
Fitri menuturkan penjaminan mutu keperawatan merupakan salah isu penting dalam dunia pendidikan tinggi kesehatan Indonesia. Untuk itu UGM, sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi Indoensia turut berpartisipasi membahas berbagai isu terkait penjaminan mutu pendidikan tinggi keperawatan dan pelayanan keperawatan dalam acara yang diselenggarakan oleh Ditjen DIKTI Kemendikbud RI melalui proyek Health Professional Education Quality (HPEQ) 7-8 November 2012 mendatang.
“Dalam kegiatan tersebut setidaknya akan hadir 300 peserta dari berbagai kalangan institusi pendidikan keperawatan di Indonesia, masyarakat profesi, serta rumah sakit,†ujar Ketua panitia local host HPEQ.
Diskusi berlangsung di lima tempat secara video conference. Selain UGM, juga dilaksanakan di STIKES Ahmad Yani Yogyakarta, Universitas Nusa Cendana Kupang, Universitas Riau, dan Universitas Gorontalo. Menghadirkan beberapa narasumber seperti Rita Sekarsari, SKP., MHSM (Ketua II PPNI Pusat), Yupi Supratini, SKp. MSc., (Ketua AIPDiKI), dan Muhammad Hadi, MKep., (Sekretaris AIPNI). (Humas UGM/Ika)