Sekjen Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadilah, S.Kp., S.H., menuturkan bahwa perkembangan regulasi saat ini justru memposisikan perawat rentan terhadap tindak kriminalisasi dalam melaksanakan tugas profesinya yang dipaksakan oleh kondisi kebijakan kesehatan. Sementara hingga kini belum ada undang-undang yang mengatur tentang kewenangan dan tanggung jawab perawat dalam pelayanan kesehatan yang memberikan perlindungan terhadap profesi perawat.
“Kejelasan kewenangan dan batasan tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan penting untuk totalitas melayani masyarakat. Oleh sebab itu perlu adanya pengaturan mekanisme pendelegasian wewenang dan sistem rujukan yang diatur dalam Undang-undang untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan,†kata Harif, Rabu (7/11) dalam Konferensi Health Professional Education Quality (HPEQ) 2012 Profesi Perawat di PPTIK UGM.
Menurutnya, undang-undang keperawatan sangat penting untuk segera disahkan karena tidak hanya akan memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi perawat dalam melakukan pelayanan kesehatan, akan tetapi juga juga memberikan kepastian dan juminan hukum bagi masyarakat yang akan memanfaatkan pelayanan keperawatan. Bahkan dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, mutu pelayanan keperawatan, serta mempercepat keberhasilan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Saat ini setidaknya 40 persen puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter sehingga seluruh pelayanan kesehatan dilakukan oleh perawat. Kondisi ini menyulitkan perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan. “Seperti kasus perawat Misran di Kutai, diseret ke pengadilan karena memberikan pengobatan pada masyarakat karena daerah tersebut tidak ada dokter dan apoteker. Ini terjadi karena memang tidak ada perlindungan hukum perawat di puskesmas karena tidak ada kejelasan pengaturan kewenangan dan metode pelimpahan wewenang,â€urainya.
Terkait dengan pengesahan RUU Keperawatan yang terkesan berbelit-belit oleh DPR RI, Hanif menilai bahwa terganjalnya pengesahan karena DPR RI lebih memprioritaskan RUU yang lain. “Pengesahan RUU ini dipenuhi kepentingan berbagai pihak di DPR RI. Mana yang paling memiliki energi atau kredit yang paling besar. Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak untuk mengawal proses pembentukan UU Keperwatan,†terang Hanif.
Sebelumnya Ketua II PPNI Pusat, Rita Sekarsari, S.Kp., MHSM., mengatakan dalam pelayanan profesi keperawatan harus berbasis pada kompetensi dan dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat. Karenanya credentialing atau bukti yang memperlihatkan kompetensi yang dipersyaratkan penting untuk menunjukkan kesiapan perawat sebagai profesi yang memberikan pelayanan secara profesional kepada masyarakat . Credentialing terdiri dari proses pemberian bukti formal/sertifikasi, registrasi, maupun lisensi
“Credentialing ini untuk melindungi masyarakat dengan memastikan tingkat kompetensi profesional untuk menjamin kepedulian terhadap hak-hak pasien,†katanya.
Dijelaskan, dasar pelaksanaan credentialing adalah peraturan perundangan baik undang-undang maupun surat keputusan, standar kompetensi, dan strandar praktik. Karena undang-undang keperawatan belum ada maka dasar yang digunakan hingga saat ini adalah Permenkes No. 1769/MENKES/PER/VII/2011. Adapun pelaksanaan credentialing melalui uji kompetensi pada lulusan pendidikan keperawatan baik D3 maupun S1 untuk memperoleh ijazah, sertifikat kompetensi, serta STR. Sementara untuk bisa praktek mandiri perawat diharuskan memiliki Surat Izin Paraktik Perawat (SIPP).
Sementara Sekretaris Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) Muhammad Hadi, M.Kep., dalam kesempatan tersebut menyampaikan tentang sistem akreditasi lembaga pendidikan keperawatan Indonesia yang belum berjalan dengn baik. Saat ini setidaknya baru 50 persen program studi profesi kesehatan yang telah terakreditasi dari sekitar 2.253 program studi dari 7 profesi kesehatan. Proses akreditasi saat ini hanya menilai program akademik dan belum mencakup program profesi termasuk spesialis.
Hadi menambahkan saat ini dalam melakukan akreditasi instrument yang digunakan masih bersifat umum untuk seluruh program studi, tidak disesuaikan dengan profesi masing-masing. “Untuk menciptakan pendidikan keperawatan yang berkualitas maka perlu dibuat sistem yang terintegrasi antara prinsip penyelenggara pendidikan akademik-profesi dengan sistem akreditasi yang spesifik sesuai dengan karakter pendidikan ners yang merupakan kesatuan akademik-profesi keperawatan oleh Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes),†tandasnya. (Humas UGM/Ika)