YOGYAKARTA-Konsekuensi terbesar dari kegagalan mengelola kawasan perbatasan baik dalam mensepakati garis demarkasi maupun tata kelola kawasan perbatasan beresiko menjadi negara gagal (failed state). Dalam konteks ini, tata kelola kawasan perbatasan di Indonesia-Malaysia menjadi potret mikro logika tata kelola perbatasan yang ada di Asia Tenggara. Isu perbatasan yang mewarnai hubungan diplomatik antar kedua negara ini bergerak sangat dinamis dan tidak jarang penanda dari pucuk gunung es dilema persoalan perbatasan di Asia.
Hal ini mengemuka pada Lokakarya Pencarian Model Tata Kelola Lintas Perbatasan Berbasis Connectivity and Common Prosperity: Studi Kasus Perbatasan Darat Indonesia-Malaysia di R. Seminar Timur Pascasarjana Fisipol UGM, Jumat (9/11).
Hadir sebagai pembicara kunci dalam lokakarya tersebut Dr. M. Baiquni, M.A staf pengajar Fakultas Geografi UGM. Selain itu pembicara lain dalam lokakarya tersebut Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan/BNPP, T.H. Soesetyo, Dirjen Kerjasama ASEAN Kemenlu, I Gusti Agung Wesaka Puja dan Prof. Madya Abdul Rahim Anuar dari Pusat Pengajian Antarbangsa Universitas Utara Malaysia.
Ketika tampil sebagai pembicara kunci, M. Baiquni, M.A menilai pembangunan yang berjalan saat ini termasuk di daerah perbatasan tidak jarang menimbulkan keterbelakangan. Untuk itu sebagai salah satu strategi pembangunan di daerah perbatasan perlu diakomodir unsur-unsur lokal yang ada.
“Pusat itu bukan hanya di Jakarta, tetapi ada pusat-pusat di daerah pinggiran itu yang perlu diakomodir,â€papar Baiquni.
Selain itu pembangunan di daerah perbatasan perlu memperhitungkan pula karakteristik geografi. Misalnya di Kalimantan. Dengan demikian menurut Baiquni bisa dipetakan daerah mana yang cocok untuk kawasan konservasi atau untuk dijadikan kawasan bisnis (ekonomi).
Baiquni juga berharap agar dalam pembangunan daerah perbatasan tetap memperhitungkan beberapa hal penting, yaitu pengembangan inovasi teknologi dan ilmu pengetahuan, investasi, informasi serta spirit membangun kekuatan masyarakat setempat.
Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan/BNPP, T.H. Soesetyo menjelaskan beberapa persoalan dalam pengelolaan lintas batas negara antara Indonesia dengan Malaysia, yaitu pelintas batas, sarana dan prasarana serta manajemen lintas batas. Untuk pelintas batas Soesetyo mencontohkan maraknya jalur tikus, kesenjangan sosial-ekonomi, dan kebutuhan perlindungan para pelintas batas tradisional maupun keberlangsungan sumber kehidupannya.
“Di sisi lain ada kebutuhan peningkatan pengawasan lintas batas. Namun, dilema keterbatasan sarana-prasarana di pos lintas batas maupun pengamanan masih saja terjadi,â€papar Soesetyo.
Sementara itu Dirjen Kerjasama ASEAN Kemenlu, I Gusti Agung Wesaka Puja menegaskan bahwa dalam pengelolaan lintas perbatasan persoalan batas negara (border) adalah sebagai penghubung dan bukan pemisah. Untuk itulah ASEAN Connectivity di tahun 2015 mendatang, kata Agung, diharapkan bisa membantu mengatasi masalah kesenjangan di wilayah perbatasan serta membantu mengatasi isu-isu sensitif politik keamanan bersama.
“Konektivitas baik di sektor politik-keamanan, ekonomi, maupun sosial-budaya diharapkan mampu membantu menciptakan kawasan kemakmuran ekonomi bersama,â€tutur Agung (Humas UGM/Satria AN)