YOGYAKARTA – Kawasan Borobudur secara geografis merupakan kawasan yang terletak di dataran Kedu, diantara beberapa gunung dan pegunungan, yaitu Gunungapi Sumbing, Merapi, Merbabu, Gunung Telomoyo, Andong, Tidar dan pegunungan Menoreh. Keberadaan candi Borobudur di kawasan ini layaknya sebagai saujana dalam cekungan bejana diantara gunung-gunung yang mengelilinginya yang sekaligus sebagai pembatas ekologi kawasan.
Masyarakat desa-desa di kawasan Borobudur yang agraris memiliki kehidupan sosial dan budaya yang khas, meliputi adat istiadat, tradisi, kepercayaan, tata kehidupan dan kesenian. Hubungan antara potensi alam dan budaya desa-desa dan seluruh kawasan borobudur tersebut akan menciptakan wujud saujana-saujan desa dan saujana kawasan yang unik dan berkualitas. “Filosofi hidup masyarakat desa tentang keseimbangan dan keharmonisan hidup dengan alam telah mendasari wujud dari saujana-saujana desa dan secara tidak langsung menjaga keberlangsungan saujana,†kata Staf Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM, Ir. Dwita Hadi Rahmi, M.A., dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Geografi, Selasa sore (13/11). Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Sudibyakto, M.S., Ko-Promotor Prof. Dr. Sutikno dan Dr. Ir. Laretna T Adhisakti, M.Arch.
Berdasarkan hasil penelitian Dwita, Empat wujud saujana yang dapat diamati secara fisik adalah pertama, pola pengolahan lahan, kedua, tata kehidupan, ketiga, arsitektur kawasan dan keempat, bentukan-bentukan alami. “Kesatuan keempat wujud pusaka saujana ini membentuk panorama kawasan yang indah dan penuh makna simbolik,†ungkapnya.
Pusaka saujana borobudur adalah tempat untuk belajar karena banyaknya niai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan yang dikandungnya. Empat nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan tersebut meliputi arkeologi dan sejarah, bentanglahan, sosial budaya, filosofi dan religi. Dalam eksistensinya, kata Dwita, wujud dan nilai keunggulan pusaka saujana borobudur dilandasi oleh Mandala Borobudur. “Kristalissi konsep pusaka saujana borobudur merupakan penyatuan dari wujud, nilai keunggulan dan mandala borobudur,†katanya.
Mandala borobudur dimaknai sebagai hubungan kekuatan antara pusat dan pinggiran dalam dimensi ruang dan waktu. Konsep ini dimanifestasikan sebagai seluruh kehidupan di kawasan Borobudur dengan gunung-gunung dan pegunungan sebagai batasnya, kondisi geomorfologi, iklim, tanah, air, vegetasi, dan fauna.
Meskipun demikian, perubahan yang diakibatkan bekembangnya kegiatan pariwisata dan pembangunan saat ini terus mengancam wujud dan nilai keunggulan pusaka saujana Borobudur. Berbagai perubahan dipicu oleh ketidaktepatan pengelolaan dan kekurangpahaman masyarakat akan pusaka saujana Borobudur. “Ancaman perubahan tersebut belum berdampak pada hilangnya keberlanjutan pusaka saujana Borobudur namuan pusaka saujana berada pasa posisi yang membahayakan,†tuturnya.
Menurutnya, upaya pengelolaan yang kurang optimal selama ini menjadi penghambat tercapainya keseimbangan antara perubahan dan keberlanjutan pusaka saujana Borobudur. Karenanya pengelola harus responsif mengelola perubahan untuk menjaga keberlanjutan pusaka saujana borobudur. Pengelolaan harus mampu mempertahankan kesatuan wujud pusaka saujana dengan nilai-nilai keunggulannya secara utuh dan tetap berfungsi baik dengan ‘Mandala Brobudur’ sebagai landasannya agar tercapi kelestarian pusaka saujana borobudur.
Wanita kelahiran Yogyakarta, 26 september 1961 ini menambahkan, Candi Borobudur sampai kapanpun tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan, meskipun nilai hubungan candi dan masyarakat telah bergeser. Namun menurut Dwita, pelestarian Pusaka saujana borobudur perlu dilestarikan karena borobudur sebagai hasil kreasi budaya masyarakat dan borobudur sebagai museum hidup dan tempat pembelajaran. (Humas UGM/Gusti Grehenson)