Inkulturasi sebenarnya masalah dalam kebudayaan, sebab inkulturasi merupakan proses adopsi dalam kelangsungan pembinaan kebudayaan. Usaha inkulturasi oleh Gereja Katolik merupakan fenomena menarik untuk diteliti, baik pengaruh timbal balik antara Gereja setempat maupun kebudayaan lokal. Dalam hal ini termasuk peralatan-peralatan peribadatan, diantaranya musik iringan pada acara ritus gerejani, busana yang dipakai, bahasa yang dipergunakan serta lagu-lagu yang dinyanyikan.
Menengok sejarah Gereja Katolik di Indonesia, maka pada awal kehadiran Gereja dibawa oleh bangsa Belanda. Agar tidak menjadi unsur yang asing dalam masyarakat Indonesia, Gereja harus mengakar pada masyarakat pendukungnya. “Hal ini ditandai dengan perubahan-perubahan yang berarti bagi umat Katolik Indonesia. Penggunaan bahasa peribadatan yang semula menggunakan bahasa Latin menjadi berbahasa setempat sesuai dengan bahasa dan adat masyarakat,” ujar Dra. Sukatmi Susantina, M.Hum di Pusat Antar universitas (PAU) UGM, Rabu (14/11).
Dosen Jurusan Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, mengatakan hal itu saat menempuh ujian terbuka Program Doktor Seni Pertunjukan UGM. Didampingi promotor Prof. Dr. Lasiyo, MA., MM dan ko-promotor Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc, promovenda mempertahankan desertasi “Unsur-Unsur Kesenian Jawa Dalam Inkulturasi Gereja Katolik DIY, Perspektif Aksiologi”.
Inkulturasi budaya sesuai amanat Konsili Vatikan II, menurut Sukatmi telah menempatkan Gereja dan masyarakat setempat mentaati kebudayaan dengan berbagai nilai moral yang sejalan dengan kehidupan Gerejani. Gereja Katolik Kevikepan Yogyakarta menunjukkan kejelasan tentang proses inkulturasi ini, salah satunya penggunaan Kitab Suci Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. “Di bidang seni pun, Gereja Katolik kevikepan Yogyakarta menaruh perhatian cukup tinggi, baik seni musik, tari dan drama. Khusus seni musik, musik liturgi berbahasa Jawa berkembang cukup bagus dengan bersumber pada Kidung Adi,” tutur perempuan kelahiran Wonogiri, 14 November 1952.
Gereja Katolik Kevikepan Yogyakarta, dalam pandangan istri Prof. Dr. drg. H. Munakhir, M.S, S.U, Sp.RKG(K) menghargai karya-karya umat setempat, baik berupa aransemen ulang, aransemen baru maupun ciptaan baru. Acara arak-arakan menuju altar senantiasa melibatkan para penari dengan kostum tari Jawa sebagai cucuk lampah. Contoh lain, misalnya penampilan Tari Persembahan, drama Tari Kelahiran Yesus. “Dalam hal ini Seni Drama termasuk seni yang diadopsi Gereja,” terang Sukatmi Susantina.
Bagi Sukatmi, dimensi estetis dalam aksiologi kesenian Jawa dalam inkulturasi gereja dimaksudkan agar pengalaman estetis ikut serta mewarnai peribadatan. Dengan mempelajari karya-karya seni setempat tentu akan mendapatkan pengalaman-pengalaman keindahan mengenai karya tersebut. Disamping itu karya-karya adiluhung dapat membantu penghayatan akan iman, karena ketika mendengar atau berolah seni umat tidak merasa asing. “Aksiologi inkulturatif memandang dimensi estetis adalah kesetangkupan, berelasi dari keduanya,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)