UGM merupakan perguruan tinggi yang dibangun berdasar nilai-nilai Pancasila dan kebudayaan Indonesia serta nilai keilmuan. Dalam Statuta UGM tahun 1977 disebutkan tugas UGM tidak hanya sebatas tri dharma yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, tetapi juga bertugas untuk menjaga pelestarian ilmu.
Heri Santoso, S.S., M.Hum., dosen Fakultas Filsafat UGM mengatakan nilai-nilai tersebut seharusnya menjadi acuan UGM dalam menjalankan setiap kegiatan salah satunya dalam melakukan penataan tanaman dan pepohonan di lingkungan kampus. Penataan hendaknya ditujukan untuk penguatan atas nilai-nilai dan jati diri UGM.
“ Dalam konteks penataan tanaman di UGM kiranya nilai-nilai luhur UGM bisa dijadikan sebagai rujukan dan sumber inspirasi. Jadi ada baiknya dalam pengadaan dan penataan pepohonan yang memiliki makna sesuai nilai-nilai ke-UGM-an,†kata Heri, Kamis (22/11) dalam lokakarya Nilai-nilai Ke-UGM-an Terkait Pentaaan Lingkungan di Ruang Multimedia Kantor Pusat UGM.
Semisal, pohon dan tanaman yang menyimbolkan nilai-nilai Pancasila, semangat juang dan kegotongroyongan, keilmuan, objektivitas, universalitas serta kemanfaatan. Selain itu juga pepohonan yang akan ditanam merupakan tanaman yang berasal dari Indoensia yang bersifat khas, langka dan hampir punah ataupun maskot provinsi. “Jadi jangan sampai menanam atau membiarkan berbagai tanaman yang dianggap bertentangan dengan simbolisasi nilai-nilai ke-UGM-an seperti benalu atau tanaman parasit yang merugikan tanaman lainnya,†ujarnya.
Beberapa tanaman yang sesuai dengan nilai ke-UGM-an terlihat pada pohon bodhi yang ditanam di utara Balirung UGM yang menyimbolkan pencerahan. Lainnya seperti cemara tujuh di selatan Kantor Pusat UGM sebagai simbol begawan yang tujuh, pohon sawo kecik yang menyimbolkan bahwa hidup harus berperilaku baik, dan pohon beringin yang menyimbolkan kerakyatan dan pengayom serta masih banyak lainnya.
Menurutnya berbagai tanaman yang menyimbolkan nilai-nilai Ke-UGM-an tersebut patut dirawat dan dikembangkan lebih banyak lagi, sedangkan yang belum sesuai atau hanya sekedar tanaman perindang tapi belum memiliki makna perlu ditata kembali. Sementara untuk tanaman yang belum ada perlu diadakan keberadaannya semisal teratai putih yang menyimbolkan kerakyatan dan ilmu pengetahuan. “Teratai putih dipakai dalam lambang UGM, ya seharusnya UGM juga bertanggungjawab untuk mengadakan tanaman ini di lingkungan kampus,†terangnya.
Sementara Guru Besar Ekologi dan Lingkungan Fakultas Biologi UGM, Prof. Shalihuddin Djalal Tandjung menyampaikan penataan tanaman selain disesuaikan dengan nilai-nila ke-UGM-an juga harus mempertimbangkan fungsi dan keadaan habitat lingkungan. “Dalam menata tanaman sebaiknya disesuaikan dengan fungsinya, jenis tumbuhan apa yang paling cocok untuk ditanam di wilayah itu,†terangnya.
Misalnya pada jalan atau gerbang utama pemilihan pohon tentunya akan berbeda dengan yang akan ditanam di jalan kampus, jalan tapak, ataupun plaza kampus. Fungsi tanaman sebagai penghijau kampus kata Shalihuddin dikelompokan kedalam beberapa jenis yaitu peneduh seperti trembesi, pengarah seperti palem, pembatas seperti perdu-perduan, penghias ruang seperti melinjo, dan peredam suara seperti kiara payung. Berikutnya penahan erosi seperti serai-seraian, penahan angin seperti pinus, pelembut suasan seperti sawo kecik, dan pengalas seperti rumput-rumputan.
Lebih lanjut Shalihuddin mengatakan penanaman pohon sebaiknya dilakukan menyebar diseluruh kampus daripada dilakukan terpusat pada satu taman. Disamping itu, dalam menata tanaman baru dilakukan tanpa menggusur tanaman yang sudah ada sehingga tanaman baru bisa memperkaya keanekaragaman hayati yang sudah ada. (Humas UGM/Ika)