Kehadiran SMK-SMK Jurusan Kesehatan menuai polemik di tengah masyarakat. Kehadiran Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kesehatan sebagai sesuatu yang baru cenderung tidak jelas nasibnya. “Dulu orang mengenal sekolah perawat kesehatan (SPK) dan sekarang bermunculan SMK Kesehatan yang mendapat ijin dari Diknas Kabupaten/Kota, kita di Kementerian Kesehatan sebagai pengguna masih bingung, karena sesungguhnya sekolah-sekolah seperti itu dihentikan sejak lama yang sekarang sudah diupgrade menjadi diploma,” ujar Wamenkes RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D, di Jogja Plaza Hotel, Kamis (22/11) saat berlangsung Seminar Nasional “Optimalisasi Peran Agen Kesehatan Gigi dan Mulut Dalam Peningkatan Derajat Kesehatan Nasional”.
Kata Ali Ghufron, mereka yang sekolah di SMK kesehatan dengan motivasi agar memiliki fungsi sebagai manusia agar dapat meningkatkan derajat kemanusiaan tentu tidak masalah. Tetapi bagi mereka yang berharap pekerjaan tentu akan terkatung-katung, karena SMK khusus kesehatan sesungguhnya tidak ada lagi nomenklatur yang mengatur. “Secara filosofi ada yang bersikap lebih dewasa dan lebih memahami, tetapi tetap saja ada yang berorientasi pekerjaan. Untuk keperawatan gigi pun jelas sangat dibutuhkan, hanya saja sedikit yang menjadi masalah adalah mereka yang dibutuhkan sudah distandarisasi minimal D3,’ katanya.
Menurut Wamenkes kehadiran SMK Kesehatan suatu ketika bisa menjadi boom waktu. Dengan 400 SMK Kesehatan dan di setiap SMK memiliki 40 s.d 100 siswa tentu menimbulkan banyak permasalahan. “Karena itu, kedepan butuh proses sinkronisasi dengan stakeholders dan pemerintah berharap input-input,” imbuhnya.
Dekan FKG UGM, Dr. Erwan Sugiatno, drg., M.S., SpPros(K) menyatakan permasalahan kesehatan yang dihadapi terus mengalami perkembangan dari permasalahan penyakit menular menjadi penyakit degeneratif. Kondisi tersebut tentu memiliki implikasi luas pada pengembangan sistem kesehatan, terutama pada pengadaan tenaga kesehatan di bidang kesehatan gigi dan mulut. “Indonesia masih berhadapan dengan masalah klasik, yaitu tingginya karies gigi dan penyakit periodontal serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk memelihara kesehatan gigi dan mulut,” katanya.
Masalah lain, kata Dekan adalah meningkatnya populasi lansia. Oleh karena itu pendekatan dan penyelesaian permasalahan gigi dan mulut memerlukan kemampuan analisis mendalam dengan melibatkan keilmuan yang tepat sehingga dihasilkan sebuah jalan keluar yang efektif, efisien serta tepat sasaran. (Humas UGM/ Agung)