YOGYAKARTA – Diberlakukannya otonomi khusus, seharusnya program pembangunan di Papua tidak hanya mengedepankan pada pembangunan fisik semata, namun juga mengedepankan pembangunan non fisik. Salah satunya mengangkat kembali norma dan nilai tradisional Papua dengan mengkomodasi konteks nasionalisme Indonesia. Hal itu mengemuka dalam seminar membangun optimisme di tanah Papua di ruang seminar Fisipol UGM, Selasa (17/11).
Pengamat politik Drs. Cornelis Lay, M.A., mengatakan problematika di Papua bukanlah persoalan besar seperti yang muncul di permukaan. Sehingga diperlukan perubahan pendekatan dan cara pandang terhadap persoalan Papua. “Kendati di sana banyak tumpukan masalah tapi di sana tetap ada optimisme,†kata Cornelis.
Dia menyesalkan jika banyak pihak yang masih memandang pembangunan Papua dari kacamata ‘patologis’ dan ‘paradok’. Bahkan membandingkan hasil pembangunan Papua dengan Jawa. Padahal percepatan pembangunan di Papua tidak bisa disamakan dengan di Jawa atau daerah maju lainnya. “Di Papua, menunggu petugas datang ke kantor distrik 3 hari saja itu sungguh luar biasa, atau guru datang ke sekolah. Hal seperti ini patut diapresiasi,†katanya.
Kendati demikian, pola yang dianut pemerintah Papua atau politisi di Jakarta yang selalu memikir solusi yang sama, apabila ada masalah kemiskinan dan keterbelakangan lalu mengusulkan dibentuknya pemerintahan baru lewat pemekaran. Bahkan jika ada masalah keamanan, lalu dibuat organisasi baru. “Padahal ada banyak celah dan inistiatf yang bisa dilakukan di Papua. Ada banyak terobosan yang dilakukan,†imbuhnya.
Sedangkan untuk meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat Papua, Cornelis menilai perlu didorong pelaksanaan good governance untuk meningkatkan percepatan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. “Karena setiap rakyat Papua berhak mendapatkan kesejahteraan. Hak mereka untuk menjadi cerdas,†katanya.
Menurut Cornelis, mendekatkan hasil pembangunan pada masyarakat tersebut sangatlah penting. Dia menceritakan pengalaman masa kecilnya di NTT yang mendapat kenangan indah tentang Indonesia secara utuh sehingga memilih tidak menjadi warga Timor Leste. “Saya temukan Indonesia lewat guru di Sekolah. Saya temukan Indonesia lewat seorang mantri yang keliling kampung membawa tas. Di tasnya berisi barang-barang yang saya anggap membuat semua orang jadi sehat. Adik perempuan saya mengenal Indonesia lewat bedak ‘viva’, indonesia itu mempercantik. Saat remaja saya mengenal Indonesia begitu nikmatnya lewat ‘gudang garam’,†kenangnya.
Bupati Sorong, Dr. Stepanus Malak, M.Si menuturkan dirinya kini menjadi bupati dua periode berturtut-turut berkah atas adanya otonomi khusus yang diberlakukan di Papua. “Sebelum ada otsus tidak ada orang papua jadi bupati di papua. Dengan menjadi pemimpin maka ia bertanggungjawab secara moral pada rakyatnya,†katanya.
Dia mengakui pembangunan di Papua tidak mudah karena persoalan rendahnya tingkat pendidikan dam ekonomi masyarakat asli Papua. Ia pun fokus dalam mendorong pembangunan di sektor pendidikan dan ekonomi serta kesehatan. “Mungkin kualitas SDM kami masih rendah namun masih mampu menjalankan pemerintahan,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)