YOGYAKARTA-UGM memberikan perhatian yang cukup besar dan serius bagi pengembangan Sekolah Vokasi (SV). Hal ini cukup beralasan mengingat kebutuhan tenaga kerja siap pakai yang terampil dan kompeten di bidangnya kian dibutuhkan. Pernyataan ini ditegaskan oleh Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc dalam Seminar Nasional “Sinergisitas Pendidikan Vokasi dan Industri untuk menjawab Kebutuhan Tenaga Kerja Terampil†di Hotel Grand Aston, Kamis (29/11).
Pratikno mengatakan seiring dengan perkembangan ekonomi dunia kompetisi untuk masuk di pasar kerja juga kian ketat. Di samping itu juga diperlukan tenaga-tenaga terampil untuk bisa mengisi dan membuka lapangan kerja baru.
“Kompetisi kian ketat. Lihat saja para manajer perusahan-perusahaan itu justru berasal dari negara asing,â€kata Pratikno.
Pratikno menyebutkan beberapa negara yang terus mengembangkan diri di pasar kerja seperti Australia, Korea, China, Selandia Baru dan India. Negara-negara tersebut telah masuk di pasar kerja tingkat ASEAN termasuk di Indonesia.
“Kalau kita tidak siapkan SDM yang terampil dan kompeten ini menjadi ancaman,â€imbuhnya.
Melihat kondisi itu Pratikno berharap ada keseriusan dan sinergi antara perguruan tinggi, dunia industri dan pemerintah dalam mengembangan pendidikan vokasi di Indonesia. Pengembangan yang dilakukan UGM melalui Sekolah Vokasi menurut Pratikno salah satunya dengan mendesain kurikulum yang fleksibel dan membuka ruang bagi dunia industri untuk berperan.
“Kurikulumnya kita desain agar lebih fleksibel dan membuka ruang bagi industri untuk berperan,â€tuturnya.
Sementara itu Direktur Sekolah Vokasi UGM, Ir. Hotma Prawoto Sulistyadi, M.T mengakui belum ada link and match antara institusi pendidikan dengan dunia industri, khususnya di bidang ketenaga-kerjaan. Hal itu merupakan pemborosan yang merugikan negara.
Selain itu Hotma juga melihat masih ada inefisiensi di dalam rekruitmen tenaga kerja di Indonesia. Sebagian besar rekruitmen (terutama yang dilakukan oleh pihak ketiga) belum secara sungguh-sungguh memberikan jaminan kompetensi tenaga kerja yang direkrut kepada industri, sehingga industri pemakai masih harus melakukan pelatihan dan pemagangan.
“Antara Depdikbud dan Depnakertrans belum benar-benar memiliki kesesuaian langkah, khususnya dalam penyiapan tenaga kerja terampil,â€kata Hotma.
Ia menjelaskan di tahun 2013 akan masuk ke Indonesia tenaga kerja asing dari luar negeri khususnya China dalam jumlah yang cukup banyak. Ironisnya, tenaga kerja asing tersebut bukan dari tingkatan sarjana, magister, atau doktor, namun tenaga terampil di level sekolah menengah dan diploma. Hal ini memerlukan strategi penangkalan yang sistematik dan komprehensif.
“Sinergi baik antara pemerintah, dunia pendidikan dan industri dalam kolaborasi yang benar-benar terpadu,â€pungkasnya.
Pada rangkaian acara tersebut, SV UGM juga telah menyerahkan kepada Depnakertrans karya SV UGM berupa prototype Sistem Informasi Tenaga Kerja Terampil (SITKT), yang diharapkan dapat digunakan sebagai ajang komunikasi antara institusi pendidikan, dunia insutri, asosiasi profesi, masyarakat dan pemerintah, dalam melihat peta ketenaga-kerjaan dan peluang kerja di Indonesia (Humas UGM/Satria AN)