Dari total kejadian bencana di Indonesia, 79 persen diantaranya merupakan bencana hidrometeorologi. Bahkan selama periode 2000-2010 dampak bencana hidrometeologi, ini telah menyebabkan sekitar 4.936 orang meninggal dan hilang, 17,7 juta jiwa menderita dan mengungsi. Belum lagi ratusan ribu rumah rusak dan lebih dari 2,5 juta rumah terendam oleh banjir.
Untuk itu diperlukan manajemen resiko bencana berupa strategi guna menghadapi bencana hidrometeorologi. Diantaranya dengan melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim yang mungkin dikembangkan melalui Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API).
Menurut staf Ahli Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bidang Tata Ruang dan Kemaritiman, Ir. Bemby Uripto, M.Sc, Rencana Aksi Nasional tersebut dapat dilakukan dengan upaya mengurangi resiko bencana meliputi pencegahan dan mitigasi, living harmoni with risk, dan selalu dalam kondisi kesiapsiagaan (preparadness) meliputi peningkatan kesadaran dan pengembangan kemampuan Rencana Aksi rencana aksi sub-bidang pengurangan resiko bencana.
“Bisa dengan penguatan regulasi, peraturan perundangan, kapasitas kelembagaan Perencanaan penanggulangan bencana di wilayah rentan, atau dengan peringatan dini bencana, penelitian, pendidikan, dan pelatihan dan adaptasinya. Kemudian bisa pula dengan pencegahan dan perilaku adaptasi, peningkatan partisipasi dan kapasitas Masyarakat serta kesiapsiagaan terhadap bencana,” paparnya di Balai Senat UGM, Kamis (29/11) saat menjadi keynote speaker Seminar Nasional Perubahan Iklim di Indonesia.
Dr. Syamsul Maarif, M.Si, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berpendapat yang sama. Sebagian besar bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi berupa banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, gelombang pasang dan lain-lain. Bahkan tren bencana hidrometeorologi, ini cenderung terus meningkat baik intensitas, frekuensi, magnitude, maupun sebarannya.
“Terjadinya kerusakan DAS, urbanisasi, kemiskinan dan faktor sosial budaya tentu makin meningkatkan ancaman bencana hidrometerologi di masa mendatang,” paparnya saat menjadi pembicara seminar.
Syamsul Maarif menilai pengaruh perubahan iklim global telah berdampak pada meningkatnya bencana hidrometeorologi di Indonesia. Meski begitu faktor antropogenik dipandang paling dominan berkontribusi terjadinya peningkatan banjir dan kekeringan dibanding dengan faktor perubahan iklim global.
Sehingga kebijakan implementasi Pengurangan Resiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim dalam bentuk nyata masih perlu dirumuskan secara bersama. Semua pihak diharapkan bersinergi, sebab tujuan dari upaya ini agar memiliki kesamaan dalam mengurangi kerentanan.
“Faktor perilaku manusia masih tetap dominan dibanding faktor-faktor lain sebagai penyebab terjadinya bencana hidrometeorologi. Karena itu, saya berharap peran perguruan tinggi dalam mengintegrasikan PRB dan API di tingkat lokal perlu untuk selalu ditingkatkan,” ungkapnya. (Humas UGM/ Agung)