YOGYAKARTA-Radikalisme kaum muda muslim di Indonesia hari-hari ini (termasuk di Barat) seringkali diasosiasikan dengan tindak kekerasan, bahkan terorisme. Hal ini tidak lepas dari meningkatnya aksi kekerasan dan terorisme yang dilakukan oleh kaum muda muslim di Indonesia belakangan ini, khususnya pasca runtuhnya rezim orde baru.
Dalam dua tahun terakhir saja, setidaknya terdapat 37 pemuda yang teridentifikasi sebagai tergabung atau terasosiasi dengan kelompok atau jejaring pelaku terorisme di tanah air. Meskipun secara konseptual radikalisme tidak identik dengan terorisme maupun kekerasan, namun terorisme dan vigilantisme bisa dilihat bisa dlihat sebagai varian dari fenomena radikalisme.
“Pemuda sebagai agensi memiliki kecenderungan lebih kuat dan kemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam gerakan sosial radikal dibandingkan dengan, misalnya, orang dewasa,â€ujar sosiolog UGM, M. Najib Azca, S.Sos, MA, Ph.D pada pidato Dies Natalis ke-57 Fisipol UGM, Rabu (5/12). Pada kesempatan tersebut Najib menyampaikan pidato dies yang berjudul Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru.
Najib menilai radikalisme kaum muda bisa dilihat sebagai respon, kritik dan antithesis, terhadap ortodoksi dan arus utama yang terjadi dalam relasi kuasa, yang bisa berbentuk kekerasan maupun nir-kekerasan. Dari penelitian yang pernah dilakukannya terungkap bahwa maraknya gerakan radikal Islam pada masa awal orde baru sebagai ‘aksi identitas’ sebab hal itu merupakan akibat, atau merupakan respon, terhadap schismogenesis, perubahan drastis yang terjadi dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia.
“Schismogenesis ini misalnya muncul dalam maraknya beraneka kelompok sosial dan politik baru pasca orde baru yang meningkatkan kontestasi dan ketegangan politik dan ideologis antar kelompok,â€katanya.
Ia mencontohkan salah satu bentuk schismogenesis yang paling dramatis adalah terjadinya peperangan komunal agama di Maluku, Maluku Utara dan Poso, Sulawesi Tengah, yang telah menciptakan moral shock pada sejumlah besar pemuda muslim untuk terlibat dalam gerakan jihad.
“Aksi radikal untuk terlibat dalam gerakan jihad bisa dilihat sebagai ‘aksi identitas’ untuk mengakhiri krisis mendalam yang terjadi antara identitas dan diri-sutobiografis, yang yang terjadi pada aras personal maupun dalam konteks societal,â€jelas Najib.
Meskipun memiliki kecenderungan yang kuat terlibat dalam gerakan sosial radikal, menurut Najib cukup sembrono untuk menarik kaitan langsung antara kaum muda, kemiskinan, pengangguran dan kecenderungan munculnya perilaku terorisme di kalangan kaum muda muslim. Ia mencontohkan kasus 11 September justru berasal dari kalangan terdidik yang berlatar belakang keluarga kelas menengah.
“Disini salah satu variabel penting yang menjelaskan keterlibatan pemuda ke dalam kelompok dan aksi radikalisme adalah variabel ideologi dan jejaring sosial,â€tegasnya.
Selain penyampaian pidato, rangkaian dies natalis Fisipol UGM ke-57 juga diadakan Dies on The Air; kerjasama Fisipol UGM dengan Federasi Aerosport/FASI DIY serta pembukaan Kampung Sospol (Humas UGM/Satria AN)