Kejadian gempabumi tahun 2006 dan erupsi Merapi tahun 2010 menjadi peristiwa yang selalu diingat warga Yogyakarta. Dua peristiwa tersebut mengakibatkan banyak kerusakan fisik maupun non fifik dirasakan warga UGM.
Bencana tersebut secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh di semua bidang kegiatan belajar, akademik, administrasi dan kegiatan-kegiatan lain di kampus. Kedepan, untuk meminimalisir dampak yang mungkin merugikan akibat bencana, UGM perlu mengkaji instrumen-instrumen manajemen mitigasi bencana di kampus.
“Di UGM banyak digelar kegiatan berkaitan dengan resiko pengurangan bencana, namun secara internal UGM sesungguhnya tidak siap jika sewaktu-waktu terjadi bencana,â€ujar Dr. Djati Mardiatno, M.Si, di ruang hotel UC Bulaksumur, Kamis (6/12) saat berlangsung workshop dan focus group discussion (FGD) Manajemen Mitigasi Bencana di Kampus UGM. Workshop dan FGD yang digelar Pusat Studi Bencana UGM menghadirkan pembicara Dr. Djati Mardiatno, M.Si, Winaryo, S.Si, I Made Susmayadi, M.Sc dengan moderator Aminudin Arhab.
Djati Mardiatno menunjuk peristiwa erupsi Merapi tahun 2006 menjadi bukti UGM belum siap. Saat erupsi Merapi, kata dia, UGM masih sebatas reaktif dalam menanggapi bencana. “Belum siap, dari workshop ini kita berharap UGM dapat memulai atau mengawali dalam mengidententifikasi potensi-potensi dari ancaman bencana yang mungkin terjadi di kampus,baik bencana yang bersifat alam maupun non alam,†katanya.
Saat ini telah bertebaran sekolah-sekolah tangguh bencana, seperti di Bantul, Padang dan Aceh. Untuk itu, ia berharap UGM mau menjadi model perguruan tinggi yang tangguh terhadap bencana.
Ada tiga langkah strategis yang perlu ditempuh UGM menjadi kampus tangguh bencana. Yaitu tahapan sadar bencana, tanggap bencana dan tangguh dalam bencana. “Kalau kita sadar, kemudian tanggap maka tentu akan tangguh. Paling nyata adalah erupsi Merapi yang memberi pelajaran bagi kita, betapa bencana ini sungguh mengganggu aktivitas kita. Demikian juga gempa bumi, angin puting beliung. Karenanya penting bagi kita mengevaluasi apa-apa yang belum, yang sudah dan yang akan kita lakukan bila terjadi bencana,â€imbuhnya.
Winaryo, S.Si untuk menjadi Kampus Tangguh Bencana, UGM perlu melakukan pelatihan simulasi dan evaluasi. Sebab kegiatan ini merupakan salah satu upaya dalam membangun manajemen mitigasi bencana di Kampus UGM dalam rangka menuju penguatan kelembagaan di lingkup UGM.
“Arti menjadi Kampus Tangguh maka bila terjadi bencana lagi dalam berbagai skala di DIY, UGM dapat mengerahkan sumberdaya, baik SDM, peralatan yang dimiliki, dan secara mandiri mampu menyelesaikan permasalahan dan dampak yang timbul akibat bencana,â€paparnya. (Humas UGM/ Agung)