Performa bernyanyi Ubiet (Nyak Ina Raseuki), Until (Sundari Untiningsih Soekotjo) dan Aning Katamsi (Ratna Kusumaningrum) menarik perhatian dosen Jurusan Pendidikan Seni Musik Fakultas Pendidikan bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Dra. Susi Gustina, M.Si untuk melakukan penelitian. Ia menilai ketiga penyanyi tersebut memiliki gaya bernyanyi maupun penampilan visual yang bertolak dari gaya lokal/etnik atau klasik (Timur dan Barat).
Ketiganya berbeda dengan umumnya penyanyi perempuan dalam arus utama musik populer di Indonesia yang berorientasi pada gaya modern ala Barat. Ditinjau dari musikal, ketiganya memiliki gaya bernyanyi yang diakui sebagai identitas musikal mereka. “Orang mengenal Ubiet sebagai penyanyi berornamen, Unti penyanyi keroncong dengan ciri nggandul dan cengkok, sedangkan Aning lebih dikenal sebagai penyanyi seriosa dengan teknik bel canto-nya dalam mereproduksi lagu,â€ujar Susi Gustina di UC UGM, Jum’at (7/12) saat mempertahankan desertasi “Performativitas Penyanyi Perempuan Dalam Pertunjukkan Musikâ€.
Gaya bernyanyi dan penampilan visual, menurut Susi, dapat dipandang sebagai tindakan tubuh yang memiliki sejarah wacana tersendiri dan menjadi bagian pengetahuan penyanyi perempuan. Ia berasumsi bahwa dalam setiap pertunjukan musik, penyanyi perempuan akan selalu mengutip dan mengulang elemen-elemen yang pernah berlaku di masa sebelumnya, atau pengetahuannya untuk me(re)konstruksi subjektivitas dan feminitas secara performatif serta ‘merayakan’ keragaman pengetahuan dan wawasan kultural penyanyi perempuan dalam musik populer.
Susi menuturkan pengetahuan dan wawasan kultural Ubiet diperoleh melalui pendidikan formal di bidang musik dan etnomusikologi serta beragam pengalaman empiris dalam melakukan aktivitas musikal dalam beragam genre musik. Hasil ekperimen dan eksplorasi Ubiet sebagai etnomusikolog, penelitin musik dalam masyarakat non-Barat, penyanyi, dan pesuara menghasilkan suatu gaya bernyanyi tertentu sebagai identitas musikal atau kompetensi estetiknya, yaitu gaya beryanyi berornamen lokal.
Sedangkan, Unti memperoleh pengetahuan melalui beragam pengalaman empiris dalam komunitas musik keroncong, baik dalam bentuk latihan maupun perlombaan. Meski pernah terlibat dalam musik pop, ia pada akhirnya memilih musik keroncong. “Beragam pengalaman empiris yang diperoleh dalam lingkungan sosial secara gradual membentuk pengetahuan dan memproduksi gaya bernyanyinya yang bertolak dari musik keroncong, terlebih pada penggunaan cengkok dan nggandul, gaya pop, serta penjiwaan dalam mengekspresikan lagu-lagu keroncong,â€tutur Susi, perempuan kelahiran Padang, 22 Agustus 1967.
Berbeda dengan Ubiet, Aning justru memperlihatkan kedekatannya dengan budaya klasik Barat. Fakta tersebut tampak pada gaya bernyanyi maupun penampilan visual Aning yang terkesan serius. Dalam proses pertunjukan musik, khususnya dalam berkolaborasi dengan musisi dari genre musik yang berbeda, Aning akan selalu mengulang dan mengutip pengetahuannya itu dalam tindakan tubuhnya, baik gaya bernyanyi maupun penampilan visualnya.“Seperti dalam menyanyikan lagu seriosa, lagu Tanah Airku, Aning memperlihatkan pemahamannya atas konteks menyanyi dalam budaya klasik Barat,â€papar Susi Gustina, yang dinyatakan lulus Program Doktor UGM Program studi Pengkajian Seni Pertunjukan. (Humas UGM/ Agung)