YOGYAKARTA-Maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan baik di level legislatif, eksekutif maupun yudikatif semata-mata bukan karena faktor keserakahan yang dilakukan para pelaku. Sebagai contoh terjadinya korupsi yang terjadi di parlemen antara lain disebabkan liberalisasi biaya politik.
“Akibat liberalisasi tersebut tidak ada pembatasan biaya politik seperti untuk mendaftar sebagai wakil rakyat atau bupati dsb,’papar peneliti dari Indonesia Institute, Hanta Yudha, pada talkshow Klinik Sosial Politik yang mengangkat tema Korupsi di Indonesia bertempat di R. Sidang Timur FISIPOL UGM, Jumat (7/12).
Hanta menambahkan dengan adanya liberalisasi pada biaya politik ini mengakibatkan perilaku anggota DPR ketika terpilih tidak hanya ingin memperkaya dirinya sendiri namun juga faktor lain, seperti balas jasa serta ingin mengembalikan modal pada masa kampanye.
“Belum faktor lain seperti transparansi anggaran di partai politik maupun sistem rekruitmen anggota juga masih jadi PR besar,â€tegas alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM itu.
Danang Girindrawardana selaku Ketua Ombudsman RI pada kesempatan tersebut menyoroti maraknya pungutan liar (pungli) yang masih dirasakan masyarakat. Meskipun tidak menyebabkan kerugian negara terjadinya pungli tetap saja menyebabkan ketidakadilan pada masyarakat.
“Ombudsman serius membantu masyarakat untuk memperjuangkan ketidakadilan yang mereka hadapi,â€tegas Danang.
Danang mencontohkan terjadinya praktek ‘korupsi kecil’ atau maladministrasi seperti pungutan liar ini bisa segera dilaporkan kepada ombudsman. Meskipun tidak ada pasal pidana yang dikenakan, rekomendasi ombudsman sebagaimana UU 37/2008 wajib dilaksanakan.
“Prinsipnya sesuai undang-undang rekomendasi ombudsman wajib dilaksanakan sehingga cukup kuat hingga memaksa presiden sekalipun,â€imbuhnya.
Sementara itu Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menuturkan terjadinya praktek korupsi tidak ada kaitannya dengan ideologi sebuah partai politik, baik itu ideologi yang berlatar belakang agama maupun nasionalisme sekalipun. Apalagi saat ini, kata Priyo, telah terjadi de-ideologisasi terhadap semua parpol.
“Akibatnya tidak ada perbedaan mencolok pada semua parpol. Baik itu parpol yang berlatar belakang agama maupun tidak,â€kata Priyo yang dulu pernah menjabat Ketua Senat Mahasiswa FISIPOL ini.
Akibat terjadinya de-ideologisasi tersebut maka daya tarik seseorang masuk ke parpol bukan lagi karena faktor ideologi. Daya tarik masuk parpol saat ini lebih banyak karena faktor program-program yang ditawarkan maupun figur yang terlibat.
Di tempat sama, staf khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Velix Vernando Wanggai menegaskan pemerintah tetap serius dan berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi. Salah satu upaya tersebut antara lain pembenahan distribusi anggaran dari pusat ke daerah (Humas UGM/Satria AN)