YOGYAKARTA-Asosiasi Jamkesda Indonesia masih berkomitmen untuk menyelenggarakan program Jamkesda meskipun sudah direncanakan akan dilaksanakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai 1 Januari 2014. Hal ini merupakan salah satu rekomendasi hasil Seminar dan Workshop Peluang dan Tantangan Daerah Menyongsong Kebijakan Pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional, 7-8 Desember di Jogjakarta Plaza Hotel. Acara ini diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan FK UGM (KPMAK).
“Komitmen tersebut berasal dari kepedulian terhadap layanan untuk rakyat miskin dan tidak mampu yang belum bisa dicover oleh pemerintah,â€ujar Ketua Asosiasi Jamkesda Indonesia, Drs. Sugeng Iriyanto, M.Kes, usai penutupan seminar dan workshop, Sabtu (8/12).
Sugeng mengatakan meskipun daerah siap mendukung pelaksanaan JKN, masih ditemukan beberapa persoalan yang harus segera dibenahi. Ia mencontohkan persoalan terkait kepesertaan dan kesiapan daerah. Menurut Sugeng meskipun JKN diterapkan belum ada jaminan masyarakat miskin 100 persen akan ditanggung di dalamnya.
“Kita meminta agar tetap diberi porsi dan kewenangan misalnya dalam menetapkan kepesertaan,â€imbuhnya.
Dari aspek hukum, pasal 60 UU BPJS dinilai juga menjadi akar permasalahan bagi peran Jamkesda dalam BPJS Kesehatan. UU tersebut berada di area abu-abu bagi penyelenggara Jamkesda. Di dalam pasal itu disebutkan Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program Jamkesmas. Padahal, dari sisi Jamkesda tidak ada aturan larangan untuk melaksanakan Jamkesmas. Disamping itu, tidak ada aturan acuan Jamkesda untuk melaksanakan program.
“Untuk itu Asosiasi Jamkesda sepakat daerah tetap melaksanakan Jamkesda sampai BPJS mampu mengcover seluruh masyarakat masyarakat dalam program BPJS kesehatan,â€tegas Sugeng.
Sementara itu peneliti KPMAK FK UGM, Diah Ayu Puspandari menambahkan mekanisme pembayaran dan rujukan dalam jaminan kesehatan juga masih perlu ditetapkan. Permasalahan di sektor pembayaran dan rujukan terkait remunerasi dokter primer yang masih underpaid.
“Siklus rujukan perlu dibenahi karena misalnya dokter primer dengan mudah merujuk pasien dengan Jamkesda, tetapi itu tidak dilakukan oleh dokter spesialis,â€imbuh Diah.
Permasalahan infrastruktur terkait investasi TI, ketersediaan pusat data yang masih sektoral (terbatas di kementerian) juga menjadi kendala. Kondisi ini, kata Diah, menyebabkan kesulitan untuk mengakses data pasien terjamin hingga proses verifikasi jaminan kesehatan di penyedia layanan kesehatan terkait UPT Jamkesda (Humas UGM/Satria AN)