YOGYAKARTA – Pakar Komunikasi Politik UGM, Kuskrido Ambardi, Ph.D., mengatakan agama tidak menentukan pilihan politik pemilih. Hal itu mengaca dari berbagai survei yang pernah dlakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Kendati gaya hidup religius di masyarakat kian menguat. “Masyarakat mengalami proses santrinisasi, dan sebagian segmen muslim menjadi semakin konservatif. Namun proses itu tidak mendapatkan terjemahannya di dunia politik. Agama tidaklah terlalu berpengaruh dalam perilaku politik pemilih sebagaimana selama ini dibayangkan banyak orang. Terjadi pemisahan antara perilaku sosial dan perilaku politik,†kata Dodi, Sapaan akrab Kuskrido Ambardi, dalam seminar ‘Santri-Abangan Indonesia’, di geduang PAU UGM, kamis (13/12).
Kenyataan saat ini diakui Dodi, masyarakat tengah mengalami santrinisasi dengan makin maraknya program acara religius di beberapa stasiun televisi. Bahkan ditunjukkan makin banyaknya kegiatan pengajian dan muslimah yang mengenakan jilbab. Kendati demikian, kenyataan itu tidak serta merta menaikan suara partai islam seperti yang terjadi pada pemilu 2009 lalu. “Santrinisasi naik tapi perolehan suara partai islam menurun. Logikanya santri akan memilih pemimpin santri yang lebih santri, dan abangan memilih calon yang dekat ke abangan,†imbuhnya.
Dari hasil survei yang pernah dilakukan LSI pada pasca pilpres dan pemilu legislatif diketahui bukan lantaran sentimen agama, etnis dan wilayah yang menjadi patokan pemilih dalam memberikan suaranya namun mengevaluasi hasil kinerja pemerintah. “Perilaku politik pemilih semakin rasional. Kalo kinerjanya bagus akan didukung, kalo tidak akan dicabut dengan tidak memilih,†katanya.
Dodi mencontohkan, kemenangan pasangan SBY-Boediono dari survei ini menurut dodi mematahkan anggapan opini segenap elit partai politik bahwa calon presiden dan wakil presiden harus mewakili santri-abangan, jawa dan luar jawa. “Kenyataannya hal itu tidak begitu penting,†katanya.
Dari beberapa survei, diketahui kecenderungan para pemilih untuk memilih partai nasionalis dibanding partai islam. Pemilih masih menganggap partai islam belum memiliki program politik kongkrit seperti yang mereka harapkan. “Kebanyakan partai islam bermain dalam identitas dan simbol. Semua itu tidak masuk di benak pemilih,†ungkapnya.
Dr. Sugeng Bayu Wahyono, Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, mengatakan pendikotomian masyrakat jawa dalam tiga golongan, priyayi, santri, dan abangan dimunculkan oleh sosiolog dan antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, yang meneliti kehidupan masyarakat Jawa. “Di bukunya, dia tidak berteori tapi memberikan pelaporan. Melukiskan masyarakat jawa dengan segala dinamikanya,†katanya.
Kendati pendikotomian golongan masyarakat Jawa masih bisa diperdebatkan, tapi menurut Sugeng ia mengapresiasi Geertz selaku peneliti dari luar yang mau tinggal bertahun-tahun di Indonesia melakukan penelitian lapangan. Padahal Geertz tidak bisa mengerti bahasa Jawa hingga harus belajar ke Belanda dan datang ke UGM. “Ini sungguh luar biasa. Dari penelitian itu sampai-sampai dia bisa tahu ada belasan hantu yang dikenal orang Jawa,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)