YOGYAKARTA – Elite lokal di daerah Inonesia bagian timur seringkali menggunakan tindakan kekerasan demi memperoleh keuntungan ekonomi dan politik. Mereka menganggap kekerasan sebagai strategi ampuh dalam mengakumulasi sumber daya atau meraih kekuasaan, dan menjadikan kekerarsan untuk menghalangi pengusutan kasus korupsi. Hal itu mengemuka dalam hasil penelitian yang dilakukan Penelitian Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM dalam peluncuran buku ‘Seusai Perang Komunal, Memahami kekerasan Pasca konflik di Indonesia timur dan upaya penangananngnnya’ di Hall Hotel University Club, Selasa (18/12).
Penelitian yang dilakukan tiga orang peneliti, Muhammad najib Azca, S.Sos, MA, Ph.D, Tri Susdinarjanti dan mahasiswa doktoral dari Universitas Oxford, Patrick Barron, menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan pada akhir 2010 hingga pertengahan 2011 tentang kekerasan di Maluku dan Maluku utara pasca perang komunal . Di Maluku, mereka menemukan bahwa kekerasan digunakan untuk mempengaruhi aturan main tentang perilaku yang ditoleransi pusat. Umumnya, kekerasan atau ancaman dipakai untuk menghalangi pengusutan berbagai kasus korupsi. Seringkali taktik semacam ini ampuh membatalkan pengusutan dan meloloskan banyak kasus kakap. “Dengan demikian, kekerasan menjadi modus operandi penting dalam kehidupan ekonomi politik maluku,†kata sosiolog dari Fisipol UGM Muhammad najib Azca,.
Sebaliknya penggunaan kekerasan oleh elite untuk tujuan ekonomi politik tidak lazim di Maluku Utara, namun pragmatisme elite yang sering bekerjasama melintasi batas-batas keyakinan atau etnis. Rekonsiliasi lokal dan upaya-upaya pembangunan perdamaian dilakukan sangat terbatas. Jaringan patronase dibangun menurut identitas konflik masa lalu dimana orang mudah saja dimobilisasi untuk melakukan kekerasan. “Motivasi elite dibentuk oleh sikap masyarakat. Bila masyarakat menoleransi atau mendukung kekerasan, elite akan merasa lebih mampu menggunakan kekerasan untuk tujuan mereka sendiri,†katanya.
Kepala PSKP UGM, Prof.Dr. Mochtar Mas’oed, MA., mengatakan perang komunal di Maluku berakhir 2002 namun episode kekerasan terus berlangsug. Sementara di maluku utara justru mengemuka inisiatif damai. Munculnya kekerasan di dua daerah ini menurut mochtar perlu ditelaah dan teliti lebih lanjut. Pasalnya tindak kekerasan sering menjadi pelampiasan semangat mencapai sesuatu atau ketakutan akan terjadi sesuatu. “Tindak kekerasan dilakukan dalam pandangan pelakunya bukan soal pilihan tetapi keterpaksaan,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)