Budak atau kulit hitam yang secara fisik dan mental tertindas di bawah kekuasaan majikan maupun keberadaan mereka sebagai masyarakat inferior, telah melahirkan bentuk nyanyian baik spiritual (relijius) maupun sekuler (non relijius). Nyanyian-nyanyian tersebut terbagi dalam beberapa periode, diantaranya Nyanyian Negro masa perbudakan (1700-1861), Nyanyian Kulit Hitam Masa segregasi (1865-1900) dan Nyanyian Kulit Hitam Masa Kebangkitan (Era Civil Rights Movement 1900-1960an).
Menurut Dra. Tri Sejati, M.Hum, dosen Fakultas Ilmu Bahasa, Universitas Teknologi Yogyakarta, hampir semua lirik yang terdapat pada nyanyian, baik spiritual maupun sekuler mengekspresikan pengalaman dan kejadian yang menyangkut kehidupan budak pada saat itu. Nyanyian spiritual sebagai sumber kekuatan dan rasa percaya diri dapat diartikan sebagai nyanyian kesedihan budak (sorrow song) yang hidupnya terperangkap dalam kegelapan dan berusaha mencari kecerahan. Sedangkan nyanyian sekuler sebagai ekspresi pengalaman budak merupakan nyanyian pengungkapan rasa (expressive song) yang menggambarkan kondisi budak dengan segala keterbatasan mereka.
“Nyanyian ini dibawakan secara spontan dengan lirik yang berbeda-beda berdasar peristiwa yang sedang terjadi, sehingga dijumpai istilah-istilah seperti work song, railroad song, leisure song atau hunting song. “Ilustrasi nyanyian sekuler ini biasanya berupa kekejaman, ketidaksetaraan, perbedaan warna kulit atau ketidakadilan dari yang bernuansa ironis hingga bernada ejekan atau kritikan,†papar Tri saat mempertahankan desertasi “Jeritan Kebebasan: Kajian Lirik Nyanyian Negro Pada Masa Slavery Sampai Menjelang Civil Rights Movement di Amerika (1916-1960an)â€untuk memperoleh derajat doktor Bidang Pengkajian Amerika UGM.
Melaksanakan ujian terbuka di ruang Multimedia, Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo, Fakultas Ilmu Budaya UGM Kamis (27/12), Tri Sedjati menyatakan secara psikologis nyanyian budak dapat menggalang rasa kebersamaan, menumbuhkan dan menambah semangat dalam menjalani hari-hari yang suram. Melalui aktifitas serta praktik budaya yang dikuasai, budak atau Negro meyakini nyanyian mampu mengusir rasa pesimis sekaligus memicu rasa optimis menatap masa depan yang lebih cerah.
Disebutkan kompensasi emosional yang disuarakan melalui lirik nyanyian mampu membentuk perasaan ‘saling’, saling peduli satu sama lain sehingga menambah kentalnya rasa percaya diri. “Nyanyian-nyanyian pada era perbudakan (antebellum era) tersebut lebih banyak ditemui dalam bentuk nyanyian spiritual karena dianggap sebagai sarana berkomunikasi dengan Tuhan,†tuturnya. (Humas UGM/ Agung)