Kasus gagal ginjal di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Perneferi) tahun 2005 menunjukkan setidaknya 25 juta orang Indonesia mengalami gangguan fungsi ginjal karena hipertensi dan diabetes.
Tingginya kasus gagal ginjal menjadikan permintaan layanan penanganan pasein gagal ginjal di rumah sakit turut meningkat. Namun di sisi lain, rumah sakit-rumah sakit di Indonesia yang memiliki unit hemodialisa belum mampu memberikan layanan bagi seluruh penderita gangguan ginjal akibat tingginya permintaan layanan. Kenyataan tersebut mendorong Rumah Sakit Akademik untuk membuka unit layanan hemodialisa untuk melayani pasien gagal ginjal yang belum mendapatkan layanan karena keterbatasan kuota layanan hemodialisa.
“Di Jogja sendiri semua rumah sakit yang memiliki unit layanan hemodialisa selalu penuh. Bahkan bisa menolak pasien karena jumlahnya terus bertambah. Oleh sebab itu RSA UGM membuka unit hemodialisa untuk memenuhi tingginya permintaan layanan penanganan gagal ginjal,†urai Direktur Utama RSA UGM, Prof. dr. Arif Faisal, Sp.Rad(K), saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (8/1).
RSA UGM secara resmi membuka unit layanan hemodialisa untuk umum pada Sabtu (7/1). Pembukaan unit ini diresmikan secara langsung oleh Wakil Rektor UGM Bidang Pendidikan dan Kemahaiswaan, Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D.
Faisal mengatakan dengan adanya unit hemodialisa dapat membantu umum yang membutuhkan penanganan cuci darah. Untuk menunjang pelayanan, RSA UGM telah menyediakan 12 mesin hemodialisa. Dari seluruh mesin tersebut 10 diantaranya akan dioperasikan setiap harinya untuk melayani kebutuhan cuci darah pasien. Sedangkan dua mesin lainnya akan digunakan untuk melayani pasien infeksius atau yang terkena infeksi semisal penderita hepatitis dan untuk cadangan. “Dengan alat yang ada kita bisa melayani 10 pasien setiap harinya. Semisal pasiennya terus bertambah tidak menutup kemungkinan akan kita tambah mesinnya,†ujarnya.
Sementara untuk tenaga medis, lanjutnya, saat ini RSA UGM memiliki 2 orang dokter spesialis penyakit dalam dan 1 dokter umum yang bertugas di unit hemodialisa. “ “Kedepan kita mentargetkan minimal ada 6 dokter spesialis penyakit dalam,†katanya sembari menambahkan sejak dibuka Sabtu lalu, telah tercatat sebanyak lima pasien yang memanfaatkan layanan hemodialisa di RSA UGM.
Kasus gagal ginjal banyak terjadi karena pola hidup dan pola makan masyarakat Indonesia yang kurang sehat. Untuk menolong penderita gagal ginjal bisa dilakukan dengan dua cara yaitu cuci darah secara kontinu atau dengan cangkok ginjal yang tentunya menelan banyak biaya. Misalnya, untuk satu kali cuci darah menghabiskan biaya antara Rp. 500-7000 ribu. Sementara dalam seminggu setidaknya harus dilakukan dua kali cuci darah. Padahal untuk penderita gagal ginjal akut proses cuci darah harus dilakukan secara terus menerus seumur hidup.
Fasial memandang bahwa persoalan tingginya biaya pengobatan penderita gagal ginjal saat ini bukan menjadi kendala lagi terutama bagi penderita dari kalangan kurang mampu. Pasalnya, dengan adanya kartu jaminan kesehatan daerah (jamkesda) sangat membantu pasien yang berasal dari keluarga kurang mampu. Ia mencontohkan, Pemkab Sleman menanggung biaya pengobatan Rp. 500.000,- per pasien gagal ginjal dari keluarga miskin , sementara RSA UGM mematok tarif sebesar Rp.500.000,- untuk satu kali cuci darah. Dengan begitu pasien tidak mengeluarkan biaya untuk cuci darah. “ Sementara pasien regular dengan dialiser baru hanya menambah biaya Rp. 150 ribu, sedangkan pasien dengan peralatan reuse tidak dikenakan biaya tambahan lagi,†paparnya.
Fasial menambahkan dalam waktu lima tahun kedepan RSA UGM akan mengadakan layanan cangkok ginjal sebagai salah satu alternatif solusi penanganan pasien gagal ginjal selian menjalani cuci darah. “Harapannya 5 tahun kedepan RSA UGM bisa melakukan pencangkokan ginjal pada pasien gagal ginjal,†tuturnya.
dr. Fredie Irijanto, Ph.D., Sp.PD-KGH., dokter spesialis penyakit dalam di RSA UGM saat dihubungi secara terpisah menuturkan minimnya dokter sepsialis ahli ginjal di Indonesia menjadi salah satu tantangan dalam penanganan pasien gagal ginjal . Hingga saat ini dokter sepsialis ahli ginjal Indonesia baru mencapai 90 orang. “ Kebanyakan dokter tersebut tersebar di kota-kota besar di Pulau Jawa, 20 persennya berada di Jakarta. Sementara di luar Jawa masih sangat sedikit, bahkan tidak ada seperti di Papua. Kalau bisa terdistribusi merata tentunya akan baik,†jelas Ferdie.
Namun, dengan adanya sistem pelayanan kesehatan yang berjalan dengan baik, minimnya dokter spesialis ahli ginjal tidak lagi menjadi persoalan . Dikatakan Ferdie, untuk melakukan deteksi dini penyakit ginjal sebenarnya dapat ditangani oleh dokter umum maupun dokter sepsialis penyakit dalam, tidak harus dilakukan dokter spesialis ahli ginjal. “ Deteksi bisa dilakukan dari air kencing atau darah yang bisa dilakukan di puskesmas oleh dokter umum, tanpa harus ke dokter spesialis ginjal†katanya.
Ditambahkan Ferdie, penanganan penderita gagal ginjal akut melalui transpalntasi atau cangkok ginjal merupakan jalan yang lebih murah dibandingkan dengan cuci darah karena hanya dilakukan satu kali semumur hidup. Hanya saja, cangkok ginjal belum banyak dilakukan di Indonesia karena minimnya donor ginjal. Berbeda dengan di Australia yang pada satu negara bagiannya saja bisa melakukan cangkok ginjal 100 kali setiap tahunnya karena banyaknya donor. “ Di Indonesia masih terbentur dengan persoalan budaya dan aturan agama yang masih belum membolehkan melakukan cangkok organ,†terangnya. (Humas UGM/Ika)