YOGYAKARTA – Sejarawan UGM Prof Dr Suhartono mengatakan munculnya perilaku korupsi yang dilakukan birokrat lebih disebabkan masih kokohnya birokrasi feodal yang pernah berlaku di era kerajaan hingga masa kolonial. Warisan feodal yang berupa pola pikir dan mentalitas yang lebih menguntungkan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya sudah merasuk pada para pejabat dan penguasa. Bahkan unsur budaya kolonial yang mengedepankan status atau kedudukan tercermin pada perilaku dan tindakan dalam struktur sosial masyarakat. “Gejala ini menjiwa dalam kepribadian penguasa, sehingga gaya hidup yang melingkupinya menempatkan materi sebagai piranti simbol dan kekuasaan,†kata Suhartono ditemui usai diskusi memperingati peringatan pangeran diponegoro di Pusat Studi Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Senin (8/1/2013).
Sistem sosial feodal yang berlaku dan berakar dalam masyarakat yang dulunya dibina oleh kerajaan-kerajaan, khususnya kerajaan agraris feodal, telah memberi dasar pemerintahan kerajaan yang berlaku di seluruh nusantara. Bahkan kronologis korupsi yang terjadi saat ini berhubungan dengan struktur masyarakat dan keberlangsungan secara sosio-kultural hampir tidak mengalami perubahan secara signifikan sehingga korupsi dapat berlangsung terus.
Guru Besar Faultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini menambahkan sejak dari masa pemerintahan kolonial sampai menjelang akhir periode tersebut, koruptor sejati adalah pemerintah lewat birokrat-birokrat yang menyelewengkan pajak yang dibebankan kepada rakyat. Besarnya beban pajak yang harus ditanggung serta maraknya praktek penyelewengan pajak menjadikan rakyat melakukan perlawanan.
Pangeran Diponegoro di masa pemerintahan kolonial menurut Suhartono merupakan sosot pejuang yang tidak hanya mendambakan kemerdekaan namun juga mendobrak tata pemerintahan korup pemerintah kolonial yang mengeksploitasi rakyat lewat pajak yang diselewengkan oleh para birokrat-birokrat.
Dianggap sebagai simbol kesatria yang tulus dan jujur, menguasai seni berperang, dan memiliki jiwa kepemimpinan yang lebih baik, Diponegoro mampu menggerakkan masyarakat melakukan perlawanan pada pemerintah Belanda. Perlawanan yang dilakukan sang pangeran bahkan diikuti masyarakat tidak hanya di Yogyakarta, namun juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Perang itu meluas hingga ke Jawa Timur. Ini saya sebut sebagai perang jawa religius,†katanya.
Di luar kepahlawanan, sosok Pangeran Diponegoro menurut Suhartono seharusnya menjadi panutan bagi pemimpin dan penguasa untuk mengedepankan kejujuran dan sikap nasionalisme yang lebih besar. “Karakter kesatria Diponegoro seharusnya bisa menjadi panutan,†katanya.
Di kesempatan yang sama, Asisten peneliti Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Cahyo Gumilang, mengatakan goa selarong yang dulunya menjadi tempat persembunyian pangeran diponegoro selama perang gerilya saat ini kurang terawat meski sudah dijadikan objek wisata. Goa yang berada di desa Guwasari, pajangan, Bantul tersebut bahkan minim perawatan. “Transportasi umum menuju ke sana saja tidak ada,†katanya. Ia mendesak pemerintah untuk segera memberi perhatian pada lokasi wisata bersejarah tersebut. (Humas UGM/Gusti Grehenson)