Masterplan tentang pengurangan risiko bencana yang susun Badan Nasioal Penanggulangan Bencana (BNPB) perlu direvisi. Hal tersebut dilakukan agar masterplan yang ada tidak menjadi sia-sia dan dapat dijalankan dengan baik dalam rangka mengurangi risiko bencana di Indonesia.
“ Masterplan yang sudah dibuat BNPB masih perlu disempurnakan dalam beberapa aspek. Masterplan masih bersifat identifikasi program, belum operasional,†tandas pakar bencana UGM, Prof. Dr. H.A.Sudibyakto, M.S., usai diskusi “Review Masterplan Pengurangan Risiko Bencanaâ€, Kamis (10/1) di Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM.
Bulan Juni 2012 lalu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan master plan pengurangan risiko bencana tsunami. Masterplan tersebut akan menjadi acuan dalam penyusunan program dan kegiatan pembagunan untuk mengantisipasi bencana tsunami. Dibuat berdasar pengalaman gempa bumi yang terjadi di Aceh pada 11 April 2012 silam dengan empat program utama yaitu pengembangan sistem peringatan dini, tempat evakuasi sementara (TES), kesiapsiagaan, dan industri kebencanaan.
Menurutnya masterplan yang dibuat sangat lemah dalam hal pertanggungjawaban secara ilmiahnya. Pasalnya masterplan yang ada disusun tanpa didasari dengan hasil-hasil penelitian yang lebih rinci untuk beberapa wilayah rawan gempa dan tsunami. Sehingga berbagai program dan kegiatan pembangunan untuk mengantisipasi bencana tsunami hanya sia-sia. “Seharusnya disusun atas dasar hasil penelitian yang mendalam,†terangnya.
Dikatakan Sudibyakto, masterplan ini juga akan menjadi tidak berarti jika tidak memiliki kejelasan kedudukan didalam hukum. Untuk itu ia berharap setelah dilakukan revisi, nantinya masterplan memiliki payung hukum yang jelas agar semua departemen atau kementrian dapat menjalankan dengan baik program-program dan kegiatan pembanguanan dalam mengantisipasi risiko bencana. “ Kalau hanya dengan Peraturan Kepala BNPB dikahawtirkan tidak operasional karena kementrian ada keengganan meneruskan itu. Oleh sebab itu dibutuhkan payung hukum yang lebih tinggi misal Peraturan Pemerintah sehingga semua departemen bisa menjalankan dengan baik,†papar Guru Besar Fakultas Geografi UGM ini.
Dalam penyusunan master plan ini, lanjutnya, terlihat sangat top down. Karenanya kedepan diharapkan dalam penyusunan masterplan melibatkan partisipasi daerah. “Yang terjadi saat ini daerah banyak yang kaget kenapa tiba-tiba dibangun TES tanpa sepengetahuan mereka,†ujarnya.
Ditambahkan, review terhadap pendanaan yang terlalu besar dalam program pengurangan risiko bencana juga penting dilakukan. Seperti diketahui dana yang dianggarakan untuk kegiatan ini sekitar 17 triliun. Padahal menurut Sudibyakto, dalam upaya pengurangan risiko bencana tidak membutuhkan biaya sebesar itu. “Memang pembangunan fisik perlu biaya besar, namun efektivitas pengurangan risiko bencana tidak semata-mata pada fisik bangunan. Akan tetapi bagaimana membuat masyarakat menjadi tanggap dan lebih peka terhadap sistem peringatan dini. Dengan biaya yang tidak begitu besar pun sebenarnya bisa dicapai efektivitas pengurangan risiko bencana,†imbuhnya.
Pernyataan senada juga disampaikan Kepala Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP BPPT) Dr. Ir. Rahman Hidayat, M.Eng. Ia menilai masterplan pengurangan risiko bencana tsunami BNPB cacat secara prosedural. Misalnya, tidak dicantumkan tim penyusun masterplan sehingga produk yang dihasilkan tidak bisa dipertanggungjawabkan. “Isinya juga gak benar, hanya kompilasi berbagai penelitian dari sejumlah peneliti dan serba-serbi tsunami Indonesia. Dalam penanganan bencana masih disamaratakan tidak disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Jadi belum bisa dikatakan masterplan,†jelasnya.
Rahman mengatakan meskipun masterplan ini belum resmi, akan tetapi implementasinya sudah dipaksakan. Ia mencontohkan di Bantul akan segera dibangun tempat evakuasi sementara. “ Ada yang berkelit kalau itu draft, tapi bagaimana bisa disebut draft kalau sudah dianggarkan dan dijalankan,†tambahnya.
Rahman berharap kedepan segera dibentuk tim ahli atau tim independen yang bisa secara proaktif mengkritisi penyusunan masterplan pengurangan risiko bencana ini agar tidak terjadi kesalahan yang semakin banyak. Dalam penyusunan masterplan juga diharapkan tidak hanya dari pemerintah saja, tetapi juga melibatkan perguruan tinggi dan pihak swasta. (Humas UGM/Ika)