Perempuan muda dengan rambut sebahu dan berkulit kuning langsat itu datang ke lantai dua salah satu gedung di RSUP Dr. Sardjito. Umurnya sekitar 20 tahun. Ia datang karena sebelumnya melalui komunikasi telepon telah dijanjikan untuk bertemu dengan sang dokter. Lantas, percakapan pun mengalir.
“Saya ingin menikah, Pak,†kata si perempuan muda.
“Syukurlah,†jawab dokter.
“Apakah berpengaruh dengan alat yang dipasang di kepala saya ini?†tanya perempuan itu penasaran.
“Oh, tentu tidak. Silakan kamu menikah. Selama 20-an tahun ini kondisi alat itu masih baik-baik saja,†ujar dokter meyakinkan. “Kalau ada sesuatu yang mengganjal, kamu tinggal telepon saja,†tambah dokter lagi.
Setahun kemudian, saat perempuan muda itu hamil dan menjelang melahirkan, ia kembali berkonsultasi dengan dokter yang sama. Hasilnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua sehat. Bagi sang dokter, dr. Sudiharto, mengetahui si pasien tetap sehat dan bugar hingga dapat melahirkan anak tentu menjadi kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri. Sudiharto masih ingat betul kala ia memasang sendiri alat pirau itu di kepala si perempuan muda saat masih bayi karena didiagnosis menderita hidrosefalus.
Selama si perempuan tumbuh menjadi anak-anak, remaja, hingga dewasa, perkembangannya terus dipantau. Sudiharto tahu persis tumbuh dan kembangnya. Tidak hanya perempuan itu, hampir ribuan pasien yang pernah dioperasi dan dipasang alat pompa itu selalu dipantau. Alamat dan nomor telepon mereka terekam dalam buku catatan pasien Sudiharto.
Apa yang mendorong Sudiharto melakukan itu? Tidak lain karena alat yang dipasang merupakan hasil temuannya yang dinamakan alat pirau semilunar. Alat yang ditemukan pada tahun 1978 itu berhasil mendapatkan paten pada 2007 lalu.
Terinspirasi oleh Jantung
Bermula pada tahun 1972, saat Sudiharto memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan spesialis bedah saraf di Universitas Indonesia (UI). Di sana, bersama dengan dosen UI, Sudiharto mengerjakan proyek pembuatan alat pompa bagi penderita hidrosefalus. Empat tahun kemudian, proyek dihentikan karena tidak berhasil membuat alat yang dimaksud.
Setahun berikutnya, Sudiharto mendapat kesempatan untuk kuliah di Belanda. Beruntung, selama menempuh pendidikan ia juga dipercaya oleh salah satu guru besar ahli saraf untuk menjadi asisten dalam operasi pemasangan pompa holter bagi penderita hidrosefalus. Pompa buatan Amerika itu menjadi satu-satunya alat untuk menyelamatkan bayi-bayi hidrosefalus kala itu. Namun, pompa tersebut sering bermasalah. Kerap kali terjadi sumbatan pada aliran pompa setelah dipasang. Akibatnya, para pasien yang kebanyakan adalah bayi harus dilakukan tindakan operasi ulang. “Pompa itu bikinan Amerika. Yang dipakai saat masih di UI Jakarta, kebetulan holter juga. Holter ini nama penemunya. Dia seorang teknisi, kebetulan anaknya juga penderita hidrosefalus. Namun, anaknya meninggal karena saat ditemukan, pompanya belum sempurna,†kisahnya.
Biasanya, pompa yang sudah diangkat dari kulit belakang kepala hanya dibuang ke tong sampah. Pompa holter bekas yang berharga mahal itu pun dikumpulkan lalu dibawa ke rumah kost Sudiharto. Sudiharto lantas mengutak-atik pompa yang didapat. “Saya pikir mumpung di Belanda, soalnya cari holter di Indonesia susah. Harganya Rp150.000,00–Rp175.000,00, padahal gaji saya sebagai PNS hanya Rp80.000,00. Dulu, cari yang bekas juga susah, biasanya dipakai lagi,†kenangnya.
Sudiharto masih ingat, kala itu sekitar 15 pompa holter bekas berhasil dibawanya pulang. Lalu pompa dibuka satu per satu dan dipelajari sistem kerjanya, sekaligus yang menyebabkan pompa sering tersumbat. “Saya belajar mengapa pompa-pompa ini sering tersumbat. Di mana tempat sumbatannya? Karena saya baca dalam literatur disebutkan salah satu kelemahan celah ini adalah sering tersumbat. Padahal, terlalu banyak cairan, tidak bagus untuk otak,†ujarnya.
Hingga suatu saat, Sudiharto tahu penyebab pompa holter sering bermasalah. Ia pun mempunyai ide agar pompa tidak bermasalah lagi. Ia mendapat inspirasi dari jantung. Di organ itu terdapat katup yang mengalirkan darah masuk dan keluar dari jantung secara terus menerus. Tuhan menciptakan dengan sempurna. “Kebetulan dulu pernah menjadi asisten bagian anatomi saat mahasiswa. Di jantung itu ada katup semilunar setengah bulat. Itu yang buat kita bisa bertahan dalam sekian puluh tahun. Saya pikir, kenapa saya tidak buat desain seperti itu,†katanya.
Tujuh Ribu Pasien
Tak mau membuang waktu, setelah pulang dari Belanda pada 1978, Sudiharto membuat desain alat tersebut. Kendati belum dipatenkan, ia mengambil risiko untuk memasang alat buatannya demi menyelamatkan pasien hidrosefalus. Tindakan itu juga didorong oleh mahalnya harga pompa holter sehingga tidak semua pasien mampu membeli. Berbeda halnya dengan di Belanda, pemasangan pompa holter didanai oleh asuransi.
Dari semua pasien yang dipasang alat ciptaannya, Sudiharto mengaku hanya sekali melakukan operasi ulang pada awal-awal pompa katup semilunar mulai digunakan. Penyebabnya adalah setelah dipasang ternyata pertumbuhan bayi melebihi perkiraan panjang selang. “Waktu dipasang, pasien masih kecil. Selang memendek karena dia tambah tinggi,†jelasnya.
Pengalaman itu menjadikan Sudiharto semakin tahu panjang selang dari pompa yang hendak dipasang. Menurutnya, orang Indonesia memiliki tinggi badan 160-175 cm. Dengan demikian, ia harus memasang pompa berserta selang yang memiliki panjang 68-74 cm. Dari pengalaman, selang sepanjang itu cukup hingga pasien dewasa. “Sekarang average sambungan selang dari leher ke perut 65-70 cm. Hanya kadang-kadang anak-anak sekarang cenderung lebih tinggi. Jadi, kita pasang dengan panjang 74 cm,†tuturnya.
Sudiharto menjelaskan untuk pemasangan alat pompa pada awalnya kepala dibedah. Kemudian dibuat lubang kecil untuk memasukkan pompa di sekitar rongga otak. Dari rongga otak dipasang selang yang terhubung melalui leher hingga masuk ke rongga perut di luar usus. “Kita masukkan di bawah kulit. Karena otak itu berdenyut sesuai dengan denyut jantung, katup ini membuka sesuai dengan denyutan jantung,†katanya.
Kini sekitar tujuh ribu pasien telah memanfaatkan alat buatan Sudiharto. Di RSUP Dr. Sardjito, rata-rata setiap tahun 80 pasien dioperasi dan dipasang alat tersebut. Di rumah sakit lain, apabila dibutuhkan akan dikirim sesuai dengan permintaan. Harga alat pun relatif tidak mahal, berkisar 1,5 juta hingga 2,5 juta rupiah. “Yang kita bikin sesuai ukuran pemesanan dan umur pasien,†imbuhnya. (Gusti Grehenson)