Tertinggalnya kaum disabilitas di dunia pendidikan terutama disebabkan oleh kondisi lingkungan sekitarnya (lingkungan sosial) yang kurang memberikan akses kepada kaum disabilitas. Sehingga sumber masalahnya tidak hanya kaum disabilitas itu sendiri, namun juga sistem dan struktur relasi antara disabilitas dan non-disabilitas.
“Saya sangat mengapresiasi program Holding hands Movement ini, karena kegiatan ini telah mengadopsi paradigma yang benar, yakni melihat persoalan penanganan kaum disabilitas tidak sebatas kaum disabilitas itu sendiri, tetapi juga relasi antara disabilitas dan non-disabilitas,â€kata GKR Hemas di Lembah UGM, Minggu (20/1) saat membuka kegiatan Holding Hands Movement.
Bagi GKR Hemas, kegiatan ini menarik karena telah berupaya membawa isu kaum disabilitas yang selama ini ekslusif keranah publik dengan permainan-permainan yang menarik. Karena itu, ia berharap gagasan cerdas ini dapat segera menular ke seluruh tanah air.
“Kesadaran dan kepedulian kaum non-disabilitas terhadap penyandang disabilitas bukanlah masalah baru. Dunia maupun Indonesia sudah puluhan tahun membahas dan mencarikan jalan keluarnya,â€ungkapnya.
Meski belum optimal, berbagai peraturan dan perundang-undangan telah dibuat dan sosialisasi telah dilakukan, tetapi tetap saja masih banyak masyarakat kurang menghargai kaum penyandang disabilitas. Pada tahun 2011, DPR mengesahkan RUU tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas. “Namun, hingga kini keberpihakan DPR dalam bentuk fasilitas bagi penyandang disabilitas tidak tampak,â€ungkapnya lagi.
UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, kata GKR Hemas, memberikan kuota sebesar 1 persen kepada penyandang disabilitas di dunia kerja. Bahwa minimal harus ada 1 orang penyandang disabilitas dari 100 karyawan di sebuah perusahaan, namun faktanya hak kaum disabilitas banyak yang tidak diberikan.
Demikian pula dalam bidang pendidikan yang memperlihatkan kecenderungan sama, dimana lingkungan sosial kurang peduli terhadap pendidikan kaum disabilitas. Hasil survei yang dilakukan Departemen Sosial di 24 Provinsi menyebutkan tingkat pendidikan kaum disabilitas pada umumnya tidak sekolah atau tidak tamat SD sekitar 60 persen, dan hampir mayoritas 89 persen dari mereka tidak memiliki ketrampilan yang dibutuhkan di dunia kerja.
“Ini berarti lingkungan keluarga, sekolah dan pemerintah setempat sangat kurang peduli terhadap pendidikan kaum disabilitas,â€tuturnya.
Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc menyambut baik kegiatan ini. Ia menilai kegiatan ini bukan hanya menumbuhkan simpati secara individu, tapi juga kebijakan. “UGM terus berkomitmen untuk meningkatkan kepedulian dengan memberikan akses dan mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler peduli difabel,â€ungkapnya.
Project Officer Holding Hands Movement Yogya, Risnawati Utami berharap melalui kegiatan ini masyarakat non-disabilitas merasakan pengalaman langsung apa yang dialami para penyandang disabilitas. Dari pengalaman ini diharapkan pula muncul pemahaman yang belum terbayangkan sebelumnya. “Tentu saja pemahaman empirik ini memberikan pencerahan, enlightenment, yang akan mengubah persepsi dan sikap yang keliru terhadap disabilitas,†ujar Risnawati. (Humas UGM/ Agung)