Banyak dikritik kiri kanan, akankah Pancasila menjadi filsafat ilmu pengetahuan?
Kedudukan Pancasila sebagai falsafah ideologi bangsa Indonesia kiranya tak dapat dipungkiri lagi. Pancasila merupakan landasan bagi seluruh aspek yang ada dalam gerak kehidupan, termasuk dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, benarkah Pancasila bisa mewujud jadi filsafat ilmu pengetahuan? Dosen Fakultas Filsafat UGM, Drs. Slamet Sutrisno, M.Si., menjawab, “Berbicara mengenai Pancasila dan ilmu pengetahuan, sebenarnya kita berbicara tentang kritik terhadap modernitas.”
Menurut Pak Slamet, kini modernitas secara ekstrim telah menjadi suatu ideologi yang salah satu penopangnya adalah ilmu yang bersifat modern. Sikap berpikir ilmiah modern ini mempunyai sisi untung dan rugi. Keuntungannya adalah manusia terbebas dari mitos-mitos irasional yang selama ini berkembang. Sedangkan kerugiannya adalah manusia dapat terseret ke dalam pola pikir yang memberhalakan ilmu pengetahuan. Akibatnya, manusia dapat melupakan nilai-nilai jati diri bangsanya yang mulai tergerus nilai-nilai ilmiah modern.
Oleh karena itu ketika ideologi modernitas disebarkan ke bangsa-bangsa, maka bangsa-bangsa non barat (Asia, Afrika, Amerika Latin) harus kritis. Demikian halnya di Indonesia, pola pikir masyarakat Indonesia tidak harus sepenuhnya mengikuti ilmiah modern, tetapi harus dipilah mana yang disikapi dengan pola pikir yang dilandasi nilai budaya sendiri. Pada titik inilah Pancasila berperan sebagai basis pola pikir tersebut. “Budaya kita sendiri, bangunan filsafatnya ditunjukkan Soekarno dengan Pancasila. Pancasila sebagai sistem nilai kebangsaan kita harus dikonstruksi kembali agar menjadi rujukan terhadap kehidupan bangsa dan negara yang otomatis adalah kehidupan masyarakat Indonesia,” jelas Pak Slamet.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah aktivitas ilmiah di Indonesia saat ini sudah bisa menjadi modal memasuki wilayah keilmuan Pancasila? “Belum sama sekali,” jawab Pak Slamet. ”Saat ini sarjana Indonesia masih banyak yang bersikap sangat pragmatis. Padahal untuk memasuki wilayah keilmuan Pancasila diperlukan idealisme, bukan bermain-main dengan proyek yang hanya mencari keuntungan finansial,” tambah Pak Slamet.
Pak Slamet berpendapat, masih banyak kendala serius yang harus dihadapi untuk bisa memasuki wilayah keilmuan Pancasila. “Budaya ilmiah dan komunitas ilmiah di Indonesia masih sangat lemah. Memang, ada individu ilmiah yang ilmunya sangat mengglobal, seperti Prof. Sardjito, Prof. Teuku Jakob. Mereka sudah bertaraf internasional. Tapi itu kan individu, bukan kelembagaan.”
Bagi Pak Slamet, budaya ilmiah adalah bagaimana ilmuwan membangun dirinya penuh integritas, misal dengan kejujuran dan bersikap bersahaja, bukan kepalsuan akademik seperti plagiarisme. “Seorang sarjana, lebih-lebih ilmuwan walaupun dia bekerja secara kolegial, bersama, tapi dia harus berjiwa bermental seperti burung elang. Berani terbang sendiri, berani membaca walaupun teman-temannya pergi ke kafe, berani meneliti ke wilayah yang jauh di pedalaman. Sementara banyak kaum sarjana yang masih seperti bebek, hanya berani rombongan dan ke mana-mana hanya ikut-ikutan,” tambah Pak Slamet.
Pak Slamet menyayangkan sedikitnya komunitas ilmiah yang kuat saat ini. Dia mencontohkan komunitas ilmiah yang kuat adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Insinyur Indonesia (PII). “Seharusnya semakin banyak disiplin ilmu harus semakin banyak komunitas ilmu yang berkualitas. Selain itu produktivitas jurnal juga masih lemah, perpustakaan pribadi yang dapat menopang kuatnya komunitas ilmiah juga masih kurang, komunikasi ilmiah di dunia maya juga menjadi indikator kuat lemahnya komunitas ilmiah kita,” tegasnya.
Seluruhnya tentu menjadi tantangan berat bagi kita semua, bangsa Indonesia. Meski modernitas dan modernisme telah terbukti dapat memecahkan masalah manusia, namun di sisi lain keberadaannya juga berpotensi menyeret bangsa Indonesia ke jurang krisis. Untuk itu, menilik kembali kedudukan Pancasila penting untuk kita lakukan sehingga Pancasila dapat menjadi kerangka filsafat ilmu yang tidak mengekor kepada paradigma barat modern. “Itu adalah tugas raksasa. Ibarat mutiara, kita harus bisa mengelupas kerangnya untuk bisa mendapatkan mutiaranya,” tukas Pak Slamet. (Susan, Abrar).