Fakultas Geografi UGM menerbitkan dua jurnal ilmiah sejak tahun 1960 an. Satu bernama Indonesian Journal of Geography (IJG) dan satu lagi Majalah Geografi Indonesia (MGI). Keduanya masih berusaha terbit sesuai periodesitasnya, sekalipun menghadapi berbagai kendala.
“Peran jurnal kita dipandang paling langka,” ujar Dr. M. Pramono Hadi, M.Sc., editor IJG, ketika ditanya sejauh mana peran jurnal yang diterbitkan oleh Fakultas Geografi UGM tersebut.
“Bicara masalah geografi di Indonesia, nampaknya menjadi suatu hal yang aneh. Tapi kalau kita lihat jumlah departemen atau program studi yang berkonsentrasi di bidang geografi di negara lain sangat luar biasa. Di Jepang ada 78, Amerika 100, Inggris 80, Perancis 30, India 25. Sedangkan di Indonesia hanya ada tiga, UI,UGM, dan UMS,” terang salah seorang staf pengajar di Fakultas Geografi UGM ini.
Berangkat dari permasalahan itulah sejak tahun 1963 Fakultas Geografi UGM bekerja sama dengan Indonesian Geographers Association (IGA) aktif memproduksi jurnal bertaraf internasional, IJG. Terbit dua kali setiap tahun pada bulan Juni dan Desember, IJG berkembang sangat baik membawa nama Indonesia di kancah internasional. “Teman-teman kita di luar negeri banyak sekali yang memanfaatkan jurnal itu. Jurnal itu kan kita kirim ke luar negeri sebagai media exchange karena mereka juga mengirim jurnal mereka,” tukas Pak Pram, sapaan akrab Pramono Hadi.
Dalam pada itu, MGI, jurnal bertaraf nasional, terbit setiap bulan Maret dan September sejak tahun 1960 dan diedarkan sebagai bahan tukar dengan publikasi geografi atau publikasi lain di bidang terkait. Baik IJG maupun MGI, keduanya memuat tulisan-tulisan terkait isu-isu seputar geografi, meliputi kebumian, lingkungan, dan interaksi di dalamnya.
Dari segi keterbacaan, MGI dapat dengan mudah diakses oleh mahasiswa Fakultas Geografi di perpustakaan dan disebarkan pula di 17 fakultas lain yang ada di UGM. Namun demikian, Pak Pram yang juga menjabat sebagai Pemimpin Umum MGI ini menuturkan bahwa hingga kini MGI belum mendapatkan akreditasi jurnal dari DIKTI. “Dilihat dari kualitas isi, MGI sudah bagus. Tetapi masalah tata tulis, titik koma, masih kurang dari standar DIKTI. Belum ada upaya sistematis menuju trend keilmuan karena teman-teman dosen cenderung konsentrasi ke jurnal internasional.” Hambatan lain adalah minimnya dana yang tersedia untuk membayar para reviewer.
Ke depan, selain berusaha mengejar akreditasi jurnal dari DIKTI, MGI juga berniat menjalin kerjasama dengan Ikatan Geografi Gadjah Mada (Igegama) sehingga isinya semakin berkualitas dan jangkauannya semakin luas. Semoga cita-cita tersebut segera terkabulkan sehingga baik MGI maupun JGI dapat terus menjadi buah karya UGM yang membanggakan di kancah nasional dan internasional dan mengukuhkan UGM sebagai world class reserach university (Susan, Abrar).