YOGYAKARTA – Tragedi 1965 adalah sebuah trilogi kejadian bermula di tahun 1965 yang meliputi peristiwa G30S, yaitu penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pada malam 30 september, pembunuhan setengah juta orang-orang PKI termasuk keluarga dan simpatisan, kemudian pembuangan 12 ribu tahanan politik ke pulau Buru. Trilogi kejadian ini dianggap sebuah tragedi yang mengubah nasib para pengikut, simpatisan dan keluarga PKI menjadi sesuatu yang menyedihkan.
Kejadian demi kejadian yang berkaitan dengan tragedi 1965 mengusik sisi kemanusiaan dari persoalan yang dimunculkan dalam karya sastra Indonesia dari tahun 1965 hingga 1998. Salah satunya sejarah pembuangan tahanan politik ke pulau buru.
Pulau buru memasuki dunia sastra Indonesia melalui novel Kubah karya Ahmad Tohari (1980), novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini (1989), novel Durga Umayi karya Mangunwijaya (1991), dan memora Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer (1995).
Menurut Dosen fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma (USD) Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, pulau Buru adalah silent memory tentang pembuangan, penyekapan dan kerja paksa yang kini sudah musnah. Generasi yang akan datang barangkali tidak akan mengetahui karena berbagai unit penampungan tersebut sudah dimusnahkan tanpa bekas. “Sebuah saksi sejarah sudah musnah. Namun beruntung disampaikan lewat teks karya sastra,†kata Yoseph Yapi Taum dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Senin (28/1)
Dalam disertasinya yang mengkaji new historicism atas teks-teks sastra dan nonsastra tahun 1966-1998 mengatakan novel tentang pulau buru merupakan sebuah konstruksi pengarang atas pulau buru kendati konstruksi ideal itu tidak menyentuh realitas sebenarnya.
Dia menyebutkan tragedi 1965 di dalam dunia sastra dimulai dengan munculnya 10 cerpen sepanjang tahun 1965-1970 diantaranya Musim Gugur kembali di Connecticut karya Umar Kayam (1969), Perempuan dan anak-anaknua karya Gerson Poyk (1966), Bintang Maut karya Ki Panjikusuman (1967).
Lalu karya sastra dalam periode 1971 hingga 1980, muncul empat buah novel tanpa kritik dan perlawanan, namun keempat novel yang diterbitkan menegaskan efek buruk tragedi 1965 yang menciptakan kelas pariah dalam masyarakat Indonesia. Keempat novel tersebut adalah Sri Sumarah karya Umar ayam (1975), Jentera Lepas karya Ashadi Siregar (1979), mencoba tak Menyerah Yudhistira Anm Massardi (1979) dan Kubah karya Ahmad Tohari (1980).
Sementara karya sastra sepanjang 1981-1998 muncul lima buah novel yang memberi perlawanan keras kepada rezim, kompromi dengan kekuasaan dan perlawanan humanistik. Kesepuluh novel tersebut diantaranya adalah Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1984), novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini (1989), novel Durga Umayi karya Mangunwijaya (1991), dan memora Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer (1995).
Perlawanan keras ditunjukkan Ahmad Tohari melalui trilogy Ronggeng dukuh paruk, Ajib Rosidi melalui novel Anak Tanah Air secercah Kisah dan Nh. Dini melalui novel Jalan Bandungan. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk menurut Yoseph yapi Taum merupakan mahakarya yang cukup berani di jamannya. “Kritiknya yang sangat tajam terhadap pembunuhan yang dilakukan penguasa tanpa pandang bulu digambarkan dengan alegori dan kiasan yang lembut dan menyanyat hati. Kritiknya itu ditunjukkan pada tentara Indonesia,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)