Penerimaan dari teman sebaya pada masa kanak-kanak merupakan faktor pendukung bagi perkembangan psikologis yang sehat. Penerimaan teman sebaya ini akan memberikan kesempatan anak untuk belajar bernegosiasi, melakukan kompromi, bekerjasama, dan melakukan eksplorasi mengembangkan berbagai ide. Bahkan berpengaruh bagi perkembangan fungsi akademik, fungsi kognisi, dan emosi anak.
“Tapi, kenyataanya tidak semua anak bisa diterima dengan baik teman sebayanya. Hal ini dapat dilihat dari penerimaan dan penolakan anak dari teman sebaya saat bermain,†kata Rita Eka Izzaty, S.Psi., M.Si., saat ujian terbuka program doktor, Rabu (30/1) di Fakultas Psikologi UGM. Dalam kesempatan itu Rita mempertahankan disertasi berjudul “Strategi Pemecahan Masalah Sosial Sebagai Mediator Antar Perilaku Pengasuhan Ibu Dengan Penerimaan Teman Sebaya Pada Anak Prasekolahâ€.
Rita mengungkapkan dari hasil survey awal penelitian yang dilakukan dari lima TK di Yogyakarta menunjukkan bahwa masih terdapat masalah penerimaan teman sebaya pada anak-anak prasekolah. “Sekitar 5-15 persen anak-anak prasekolah memiliki masalah penerimaan teman sebaya dari kelompok anak-anak yang terlibat,†terang staf pengajar pada jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UNY ini.
Dipaparkan Rita bahwa penerimaan teman sebaya dipengaruhi oleh berbagai perilaku yang menggambarkan kompetensi sosial anak. Sejumlah perilaku anak seperti perilaku prososial, gemar menolong, kooperatif, memperlihatkan keterampilan memimpin berpengaruh terhadap penerimaan teman sebaya. Sementara anak yang mendapatkan penerimaan rendah dari teman sebaya menunjukan kecenderungan perilaku agresif, mengganggu, menarik diri, dan melanggar peraturan dalam bermain.
Lebih lanjut disampaikan Rita strategi pemecahan masalah sosial (SPMS) merupakan salah satu dari perilaku sosial yang menjadi anteseden penting bagi teman sebaya. SPMS merupakan strategi yang digunakan anak ketika menghadapai persoalan yang timbul karena adanya konflik antar anak dengan strategi prososial, pasif, dan koersif.
Rita menyebutkan bahwa saat anak menghadapi masalah saat berinteraksi di luar lingkungan keluarga, biasanya anak akan menggunakan perilaku sosial hasil pengasuhan ibunya. Perilaku sosial yang ditampakkan anak merupakan faktor internal anak yang menjebatani keluarga dan teman sebaya. Sehingga dalam hal ini SPMS dimungkinkan dapat menjadi faktor yang turut memediasi efek dari perlaku pengasuhan terhadap penerimaan teman sebaya. Namun dari hasil penelitian Rita pada 162 anak usia 4-6 tahun diketahui bahwa SPMS tidak berperan sebagai mediator antara perilaku pengasuhan ibu dengan penerimaan teman sebaya.
Tidak berpengaruhnya SPMS pada penerimaan teman sebaya dikarenakan sebagian besar anak mendapatkan penerimaan yang rendah dari teman sebaya, baik yang menggunakan strategi prososial, pasif, maupun koersif. Sementara anak-anak yang mendapat penerimaan tinggi dari teman sebaya tidak hanya yang menggunakan strategi prososial saka saat memecahkan masalah sosial, tetapi juga yang menggunakan strategi pasif atau koersif. “Tidak berperannya SPMS dimungkinkan karena karekteristik perkembangan anak usia 4-6 tahun yang masih belum stabil. Hal ini menimbulkan ketidaksamaan antara strategi yang dikemukakan anak ketika memecahkan masalah dalam situasi hipotetik dengan perilaku yang tampak yang dijadikan dasar untuk melihat bagaimana penerimaan teman sebaya,†urai wanita kelahiran Palembang, 10 Februari 1973 ini. (Humas UGM/Ika)