Aliran debris adalah aliran air sungai dengan konsentrasi sedimen tinggi pada sungai dengan kemiringan sangat curam. Aliran sungai ini seringkali membawa batu-batu besar dan batang-batang pohon. Aliran debris meluncur dengan kecepatan tinggi, memiliki kemampuan daya rusak yang besar, sehingga mengancam kehidupan manusia, menimbulkan kerugian harta dan benda serta kerusakan lingkungan.
Material sedimen yang dibawa aliran debris bisa berasal dari letusan gunung berapi maupun material longsoran bukit atau tebing di bagian hulu. Sebagai kawasan dengan tingkat kerawanan terhadap bencana aliran debris cukup tinggi, Indonesia harus siap menerima kenyataan ini.
“Hal ini disebabkan oleh kondisi geologis yang kompleks, topografi yang tidak datar, curah hujan tinggi, banyak gunung api aktif, dan bukit dan lereng yang tidak stabil,†papar Prof. Dr. Ir. Bambang Yulistiyanto di ruang Balai Senat, Selasa (5/2).
Dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik UGM, Bambang Sulistiyanto mengungkapkan aliran debris sebagai wujud aliran massa yang memiliki daya rusak besar. Aliran ini diakibatkan oleh berat volume aliran yang dapat mencapai 15-20kN/m3. “Karena itu upaya pengendalian aliran debris untuk meminimalkan dampak negatifnya perlu dilakukan dengan upaya fisik dan non-fisik,â€katanya saat menyampaikan pidato pengukuhan “Pelestarian dan Pemanfaatan Sungai Secara Terpadu dan Berkelanjutan Bagi Kemaslahatan Manusiaâ€.
Menurut Bambang, upaya fisik dilakukan dengan mengupayakan pengendalian aliran debris dengan memanfaatkan teknologi sabo yang sudah dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia sejak sekitar 30 tahun yang lalu. Sedangkan upaya nonfisik dilakukan dengan melakukan monitoring kejadian hujan dan gerakan material di hulu sebagai upaya peringatan dini dan mitigasi kejadian bencana aliran debris.
“Beberapa sungai dengan aliran konsentrasi sedimen sangat tinggi, diantaranya aliran hiperkonsentrasi di Sungai Sombe Lewara, aliran debris di lereng Gunung Gamalama, Ternate, dan aliran lahar hujan/dingin yang terjadi di sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi,â€tutur pria kelahiran Kudus, 17 Juli 1965 ini.
Erupsi Merapi yang terjadi pada 26 Oktober hingga November 2010 telah menimbulkan kerusakan pada sektor permukiman, infrastruktur, telekomunikasi, sarana energi listrik, serta air bersih. Dampak erupsi menimbulkan kerugian mencapai 3,5 triliun rupiah, dengan volume material yang tertumpah sebanyak 140-150 juta m3. Sementara yang terdeposit di puncak Merapi 19 kali lebih banyak dibandingkan erupsi tahun 2006.
Sejauh ini sekitar 200 unit fasilitas sabo telah dibangun dan telah memberikan dampak di dalam upaya pencegahan terhadap aliran debris. “Sulit dibayangkan kerusakan yang dapat terjadi di sepanjang alur sungai Code, Sungai Kuning dan Sungai Opak, serta beberapa sungai di Jawa Tengah, yang penuh dengan pemukiman dan banyak bangunan bendung dan jembatan, jika di sungai bagian hulu tidak dilengkapi dengan bagunan Sabo,â€ungkap Bambang Sulistiyono sembari menambahkan bila disain struktur bangunan Sabo perlu dikaji dan diperbaiki agar mampu bertahan. (Humas UGM/ Agung)