YOGYAKARTA- Produk inovatif yang diluncurkan pemerintah meskipun dibagikan secara gratis tidak sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat. Bahkan produk-produk inovatif yang dipasarkan tidak menjamin bisa diterima dengan baik oleh konsumen. Beberapa alasan yang menyebabkan hal itu, pertama, ada sebagian masyarakat menunda memakai sebuah produk inovasi baru. Kedua, menolak menggunakan produk inovasi dan ketiga betul-betul tidak peduli terhadap produk inovatif.
Demikian simpulan yang mengemuka dari hasil penelitian Dosen Jurusan Manajemen, Fakulta Ekonomi, UPN Veteran Yogyakarta, Dyah Sugandini, yang disampaikan pada ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Kamis (7/2).
Penelitiannya terhadap kelompok masyarakat miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta yang mendapat bantuan program pembagian produk elpiji gratis pemerintah diketahui sebagian melakukan penolakan terhadap produk inovatif itu meskipun diberikan secara gratis. “Mereka yang belum mau mengadopsi produk inovatif masuk kategori penunda inovasi karena mereka umumnya menunggu waktu yang tepat untuk mengadopsi sebuah inovasi,” katanya.
Menurutnya kelompok yang menunda menggunakan produk inovatif dipengaruhi adanya persepsi kelangkaan, persepsi risiko ekonomis dan persepsi risiko fungsional. Disamping adanya faktor kesesuaian, kerumitan, tingkat pengetahuan subyektif dari produk inovatoif dan kecukupan informasi.
“Dari hasil penelitian, inovasi dan sikap menunda lebih kuat dibandingkan dengan hubungan inovasi dengan niat menunda. Inovasi juga mempunyai pengaruh besar terhadap sikap menunda dibandingkan pengetahuan produk dan kecukupan informasi,”ujarnya.
Dari hasil penelitiannya, Dyah menyimpulkan bahwa produk inovatif yang diluncurkan pemerintah meskipun diberikan secara gratis kepada masyarakat tidak sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat. Terutama untuk kalangan rumah tangga miskin yang belum memiliki pengetahun dan informasi yang cukup terhadap produk inovasi baru. (Humas UGM/Gusti Grehenson)