YOGYAKARTA – Sebanyak 27 Pegiat LSM, aktivis dan akademisi dari berbagai daerah dari seluruh Indonesia mengikuti program Sekolah Pluralisme Kewargaan yang diselenggarakan Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM. Kegiatan yang dilaksanakan selama dua minggu ini, para peserta akan mendapatkan kuliah dan pemberian softskill dalam advokasi riset pluralisme. “Mereka mendapatkan materi setingkat teori S2 (master) tentang advokasi riset multikultural,†kata ketua program sekolah pluralisme kewargaan, Mustalghfirah Rahayu, kepada wartawan disela-sela kunjungan peserta mengunjungi pesantren waria senin kamis, Notoyudan Pringgokusuman Gedungtengen, Yogyakarta, kamis (14/2).
Rahayu menambahkan, selain berkunjung dan diskusi dengan para waria, para peserta juga akan diajak berkunjungan ke kelompok penghayat kepercayaan ‘Sapta Darma’. Kunjungan ini menjadi bagian dari kegiatan sekolah pluralisme yang diharapkan akan menambah pemahaman dan keyakinan para peserta tentang pentingnya dukungan advokasi bagi kaum minoritas.
Meski untuk pertamakali diadakan, kegiatan sekolah pluralisme ini rencananya akan diselenggarakan rutin tiap tahun dengan mengundang para aktivis dan akademisi dari berbagai daerah. Pasalnya selama ini masih ada perbedaan pemahaman antara aktivis dan akademisi dalam melakukan kerja advokasi bagi kaum minoritas “Ketika pulang dari sini kita harapkan mereka memiliki kapasitas dalam memahami persoalan pluralisme,†ujarnya.
Rahayu mencontohkan, kasus Syiah dan Ahmadiyah misalnya merupakan persoalan diskriminasi kaum minoritas yang mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari kelompok masyarakat agama tertentu. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi persoalan serupa yang terjadi di kemudian hari para peserta bisa bersinergi dengan pegiat pejuang advokasi untuk memberikan pembelaan bagi kelompok minoritas.
Salah satu peserta dari Jakarta, Hartoyo, mengaku persoalan identitas menjadi program kerja utama dari kelompok LSM ‘Our Voice’ yang didirikannya untuk memperjuangkan hak bagi kelompok gay yang selama ini diakuinya kurang mendapatkan tempat di masyarakat.
Berbeda dengan Hartoyo, M. Jafar dari anggota LSM The Aceh Institute juga punya pengalaman lain. Saat ini dia bersama teman aktivis lainnya tengah memperjuangkan hak penganut agama selain islam untuk mendirikan rumah ibadah. Pasca diberlakukannya otonomi khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, masyarakat penganut agama lain selain Islam kesulitan untuk membangun rumah ibadah. “Saat ini mendirikan gereja dan vihara sangat sulit,†ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)