Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah diterbitkan pemerintah pada 2008 silam. Kendati begitu, implementasi UU No.14 Tahun 2008 ini belum banyak dilaksanakan oleh badan publik di seluruh wilayah Indonesia.
Kepala Pusat Informasi dan humas Kementrian Kominfo, Gatot S. Dewo Broto mengatakan sosialisasi akan UU KIP penting dilakukan kepada masyarakat maupun badan publik. Pasalnya meskipun sudah lama diterbitkan pelaksanaannya belum dilaksanakan dengan efektif. Salah satunya yang terlihat di masyarakat. Meskipun saat ini sebagian masyarakat sudah sadar akan dampak pemberlakuan undang-undang ini dapat membuka akses dalam mendapatkan informasi serta sebagai sarana mengawasi kebijakan publik, namun dalam pelaksanaannya belum banyak yang memanfaatkan secara optimal.
Menurutnya, pemanfaatan UU KIP yang kurang maksimal juga terjadi di kalangan media massa. Media massa terlihat kurang efketif memanfaatkan undang-undang ini karena tuntutan dead line memberikan informasi yang bersifat aktual. Sebaliknya, UU KIP menjadi efektif untuk liputan bersifat investigasi secara mandalam.
“Pers menganggap UU KIP ini seksi karena tuntutan deadline. Padahal kalau untuk informasi yang masih dalam proses perumusan belum bisa di-publish saat itu juga, aturannya harus menunggu hingga hari ke-17 baru bisa diberikan infonya. Wartawan biasanya tidak mau kalau suruh menunggu karena berita jadi akan basi sehingga UU ini jadi tidak seksi lagi bagi mereka,†katanya saat memberikan sosialisasi mengenai Dampak Pemberlakuan UU KIP Bagi Badan Publik, Kamis (14/2) di Ruang Multimedia Kantor Pusat UGM.
Selain itu, dikatakan Gatot masih adanya anggapan yang salah terhadap UU KIP ini. Salah satunya seperti yang terjadi pada aparat kepolisian yang merasa rambu aturan UU KIP merupakan alat yang cukup efektif untuk mencegah legal action sebul saatnya tiba.
Lebih lanjut disampaikan Gatot, sosialisasi UU KIP kepada para pejabat di badan publik penting dilakukan karena dalam pratiknya masih terdapat sejumlah kekliruan yang terjadi saat memberikan informasi. Beberapa diantaranya seperti membuat interpretasi sendiri terhadap pertauran yang berlaku. Tak jarang memberikan informasi publik padahal informasi yang diminta bukan menjadi domain atau yang dikuasai pemberi informasi. Bahkan tidak sedikit yang menyepelekan batas waktu penyampaian informasi publik.
“Menggapan ringan kewajiban untuk menyampaikan informasi publik secara serta merta, tersedia setiap saat, dan berkala,†ujarnya.
Kelemahan lain yang masih sering dijumpai di badan publik dalam memberikan informasi adalah dengan menjanjikan kompensasi tertentu yang sebenarnya tidak diatur dalam UU KIP. Selain itu juga menganggap bahwa penyediaan website dianggap segala-galanya tanpa rincian informasi. “Tidak sedikit yang kuang kooperatif terhadap pemohon informasi publik,†imbu Gatot.
Gatot menyebutkan adanya UU KIP membuka peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi kepada badan publik. Dengan kata lain badan publik berkewajiban memberikan infromasi yang dibutuhkan masyarakat. Namun demikian, dikatakan Gatot badan publik memiliki hak untuk menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga badan publik berhak menolak memberikan informasi kepada public apabila tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Informasi yang tidak bisa diberikan adalah yang berisfat membahayakan negara, berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, berkaitan dengan hak-hak pribadi, berkaitan dengan rahasia jabatan, serta informasi public yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.
“Misalnya dalam bidang kesehatan adanya undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang dalam pasal 57 bisa digunakan untuk menutup informasi pada publik yaitu pada pasal 1 dimana setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan,†urainya.
Dalam kesempatan itu, Gatot menyampaikan bahwa pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) di setiap badan publik berkewajiban melakukan pengujian tentang konsekuensi penetapan informasi yang dikecualikan dengan penuh ketelitian sebelum menyatakan informasi publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang. PPDI yang melakukan uji konsekuensi berdasarkan alasan pasal 17 huruf j UU KIP wajib menyebutkan ketentuan secara jelas dan tegas pada undang-undang yang diacu yang menyatakan suatu informasi wajib dirahasiakan. “Dalam pelaksanaan uji konsekuensi PPID dilarang memepertimbangkan alasan pengecualian selain hal-hal yang diatur dalam pasal 17 UU KIP,†tegasnya. (Humas UGM/Ika)