Sejumlah undang-undang yang ada saat ini dinilai masih memiliki politik hukum “setengah hati†untuk mengakui keberadaan dan melindungi kepentingan kelompok marjinal di Indonesia. Hal ini terlihat dari kontradiksi yang dijumpai baik antar undang-undang atau internal undang-undang maupun antara undang-undang dengan politik pembangunan yang menjadi acuannya.
“Padahal sejumlah undang-undang itu seharusnya menjadi wadah pemberian perhatian terhadap kelompok marjinal,â€papar Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si. pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies natalis ke-67 Fakultas Hukum UGM, Senin (18/2). Pada kesempatan itu Nurhasan menyampaikan pidatonya berjudul Hukum Dalam Lingkar Kehidupan Kelompok Marjinal.
Beberapa undang-undang sebenarnya sudah mengadopsi ketentuan yang mengakui dan melindungi keberadaan dan kepentingan kelompok marjinal namun ketentuan yang akomodatif dan korektif tersebut dilemahkan atau bahkan dimati-surikan oleh politik akumulasi pendapatan. Ia mencontohkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin dan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Ketiga undang-undang yang dapat dijadikan dasar penguatan kelompok marjinal tersebut menjadi tidak bermakna apapun karena dikalahkan oleh politik akumulasi pendapatan pemerintah atau pemerintah daerah yang sudah mengakar selama ini.
“Ruang atas tanah baik di kota atau desa lebih memberikan dukungan terhadap politik akumulasi pendapatan jika diberikan penguasaan dan pemanfaatannya kepada pelaku usaha besar atau lokasi permukiman menengah dan mewah,â€imbuhnya.
Selain itu ada pula undang-undang yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan dan kepentingan kelompok marjinal, namun undang-undang tersebut dikesampingkan meskipun juga tidak dihapuskan karena nilai sosial yang melandasi dan prinsip hukum yang terumuskan di dalamnya dinilai bertentangan dengan nilai sosial dan prinsip hukum yang dianut oleh pemerintah dan pemerintah daerah. “Pembangunan hukum Indonesia lebih memilih “berselingkuh†dengan prinsip hukum dari budaya hukum asing yaitu kapitalis dan liberal seperti melalui UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria,â€kata Nurhasan.
Nurhasan menambahkan ada undang-undang yang sudah memberikan perhatian dan perlindungan kelompok marjinal perkotaan, namun karena dihadapkan pada kondisi “keserba-terlanjutan†yang serba ruwet di perkotaan perlindungan tersebut masih sulit untuk diwujudkan. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan Raya sudah mengharuskan untuk memberikan sarana dan prasarana khusus bagi pejalan kaki berupa trotoar yang memadai pada setiap sisi jalan dan pesepeda berupa jalur khusus. Namun amanah undang-undang tersebut sulit diwujudkan karena sebagian besar jalan di kota-kota Indonesia sudah terlanjur tidak menyediakan sarana dan prasarana khusus tersebut.
“Ketidakpaduan pemberian perhatian kelompok marjinal di tingkat undang-undang berpengaruh dalam penjabarannya di tingkat peraturan pelaksanaannya baik oleh pemerintah pusat maupun daerah,â€urai pria kelahiran Sampang, 14 Juni 1955 itu.
Di akhir pidato Nurhasan berharap agar DPR tidak perlu menjadi pelaku industri undang-undang dengan produksi legislasi sebanyak-banyaknya namun sebaliknya bagaimana menghasilkan undang-undang yang secara konsisten memberikan perhatian terhadap semua kelompok dan khususnya kepentingan kelompok marjinal. Selain itu pemerintah dan pemerintah daerah hendaknya mengubah dasar pemikirannya bahwa mengentaskan dan melindungi kepentingan kelompok marjinal sama pentingnya dengan politik akumulasi pendapatan (Humas UGM/Satria AN)