YOGYAKARTA – Yogyakarta dikenal sebagai pusat seni kontemporer di Indonesia. Dibandingkan dengan Jakarta dan Bandung, Yogyakarta merupakan kota yang lebih nyaman bagi seniman. Tidak heran, hampir setiap hari ada pembukaan pameran, konser, dan kegiatan seni budaya diselenggarakan oleh komunitas seniman. Tidak hanya menciptakan berbagai acara, para seniman ini pun menjalankan banyak program sosial di masyarakat meski dikemas dalam praktik artistik untuk menyampaikan pesan dan perannya pada masyarakat.
Demikian hasil penelitian dari peneliti manajemen seni, Osaka City University, Jepang, Tomoko Hayashi, dalam dalam pertemuan ke-11 peneliti Urban Research Plaza (URP), hasil kerjasama UGM, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Osaka City University di ruang multimedia kantor pusat UGM, Senin (18/2).
Hayashi mengatakan dari hasil penelitiannya menunjukkan keberadaan ruang alternatif bagi seniman di Yogyakarta menjadikan seniman mendapatkan tempat untuk berkreasi. “Pengembangan ruang alternatif di Yogyakarta memiliki sejarah sendiri dan tidak dapat dipahami hanya dengan konteks Barat,†katanya.
Menurutnya penciptaan ruang alternatif di Yogyakarta tidak ditemukan di tempat lain sehingga memberikan ruang lebih mudah bagi seniman dalam mengambil tanggung jawab dan perannya di masyarakat.
Dalam konteks seni rupa kontemporer di Yogyakarta, praktik seniman lebih terfokus pada sikap mereka sendiri dalam masyarakat ketimbang representasi sebagai karya seni. “Ini berarti bahwa pergerakan ruang alternatif di Yogyakarta dapat diakui sebagai praktek sosial seniman, “ ujarnya.
Sementara Arsitek sekaligus pemerhati bangunan budaya dari Jurusan Arsitektur fakultas Teknik UGM, Ir. Ika Putra, M.Eng, Ph.D, mengatakan pemerintah perlu memperhatikan ruang akses bagi masyarakat untuk menikmati peristiwa budaya terutama di jalan-jalan perkotaan. “Termasuk akses bagi kelompok berkebutuhan khusus,†katanya.
Menurutnya, pengunjung yang datang ke perkotaan yang ingin menikmati peristiwa budaya umumnya akan menikmati aksesibilitas, atraksi, dan fasilitas melalui kenangan memori otak mereka melalui jalan-jalan yang dilewati. Selanjutnya, memori itu disampaikan secara naratif kapada orang lain. “Karenanya citra kota budaya dapat mereka pahami secara estetis lewat akses jalan dan lingkungan kota yang mereka lihat,†katanya.
Ketua panitia Pertemuan URP ke 11, Wulan Tri Astuti, S.S., M.A., mengatakan Forum Akademik ke 11 URP kali ini membahas ruang publik dan acara budaya di daerah perkotaan yang dapat memfasilitasi interaksi sosial yang lebih luas, terutama pengalaman di Jepang dan Indonesia. “Hal ini penting untuk mengetahui bagaimana budaya telah menjadi kendaraan untuk aksesibilitas sosial di masa lalu dan untuk menggali potensi di masa sekarang dan masa depan untuk mengartikulasikan ‘suara’ dari masyarakat,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)