Program pemberian jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) oleh pemerintah dinilai mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berobat ke pusat kesehatan masyarakat maupun rumah sakit. Dengan adanya kartu tersebut, masyarakat tidak enggan lagi untuk berkunjung ke rumah sakit. Namun disisi lain, jamksemas memicu terjadinya bagi moral bagi masyarakat miskin. Pasalnya dengan kartu tersebut masyarakat dapat berobat secara gratis kerumah sakit kapan pun mereka mau.
“Karena gratis kalau merasa sakit sedikit saja langsung berobat ke rumah sakit. Padahal sebenarnya tidak perlu. Yang terjadi saat ini jamkesmas menimbulkan moral hazard bagi masyarakat,†tutur Prof. dr. Siswanto Agung Wilopo, S.U., SC.D., Kepala Bagian Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran UGM, Rabu (20/2) di kampus setempat menyongsong pelaksanaan Annual Scientific Meeting (ASM) 2013 dan peringatan dies natalis FK UGM ke-67.
Menurutnya, jika hal tersebut tidak diantisipasi akan terjadi lonjakan pasien miskin yang berobat ke rumah sakit. Dampaknya, rumah sakit tidak akan mampu lagi menampung pasien miskin yang sakit. “Seperti pada kasus bayi kembar Dera di Jakarta terjadi karena ketidaksiapan layanan rumah sakit. Pemberian jamksemas tidak diimbangi dengn penyediaan fasilitas rumah sakit yang memadahi,â€jelas Ketua Dies FK UGM ini.
Guna mengantisipasi kejadian yang sama,ditambah menyongsong diberlakukannya BPJS pada 2014 mendatang yang memberikan jaminan kesehatan bagi semua masyarakat termasuk warga miskin, Siswanto menyebutkan bahwa rumah sakit perlu mempersiapkan infrastruktur pendukung pelayanan kesehatan tidak hanya di rumah sakit tetapi juga di tingkat pelayanan primer atau dokter keluarga. Selain itu juga peningkatan kualitas pada sumber daya manusianya. “Sebenarnya semua bisa disiapkan, yang diperlukan adalah komitmen politik,†katanya.
Pernyataan senada disampaikan Prof. dr. Budi Mulyanto, Sp.PK (K), MM, Ketua Umum ASM 2013. Rumah sakit harus benar-benar mempersiapkan diri menyongsong pelaksanaan BPJS yang akan dilaksanakan dalam beberapa bulan lagi. Menurutnya penerapan sistem BPJS harus disertai dengan kesiapan rumah sakit baik fasilitas maupun sumber daya manusianya. Rumah sakit harus bisa mengeluarkan paket-paket layanan berbasis kendali mutu dan biaya. “Rumah sakit harus mengeluarkan tarif-tarif sesuai dengan BPJS. Mutu harus tetap dipertahanakan, tetapi biaya juga tetap diperhatikan,†tandas mantan Direktur RSUP Dr. Sardjito ini.
Diakuinya, menyiapkan fasilitas yang lengkap dan sesuai standar serta sumber daya manusia yang berkualitas bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan dengan cepat. Semuanya membutuhkan proses secara bertahap dan tentunya membutuhkan biaya besar. “Misalnya saja untuk penyediaan ruang ICU itu high cost dan high-tech, “jelasnya.
Sementara untuk RS Sardjito, disampaikan Budi saat ini telah membuat roadmap untuk mempersiapkan berbagai fasilitas rumah sakit secara bertahap dalam rangka menyongsong pelaksanaan BPJS. Harapannya, pada 2019 mendatang RS Sardjito telah betul-betul siap memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. (Humas UGM/Ika)