Bingkai kekeluargaan (Bhinneka Tunggal Ika) mengalami degradasi cukup tajam sejak tampilnya rezim Orde Baru dan semakin parah di era Orde Reformasi. Kebhinekaan dan kekeluargaan disalah artikan dan dipersempit untuk mempertegas batas identitas antar individu, kelompok, partai atau golongan.
Bahkan terkait pemilihan kepala daerah mengerucut pada persoalan putera asli daerah atau tidak. Sedangkan pada tataran sosiologis, setiap hari terjadi bentrok antar warga, antar geng, antar kelompok masyarakat hingga antar lembaga Negara.
“Bagaikan rimba belantara, saudara-saudara kita sebagai komponen bangsa saling menerkam satu terhadap yang lain, homo homini lupus. Seolah cara-cara keji menjadi pilihan satu-satunya agar dirinya bisa survive dalam kehidupan ini,†tutur Prof. Dr. Sudjito di ruang sidang Majelis Guru Besar UGM, Rabu (20/2).
Prihatin akan kondisi bangsa, Prof. Sudjito mengatakan hal itu menjelang pelaksanaan Lokakarya Refleksi Kebangsaan, Kembali ke jati Diri Manusia Indonesia: Tantangan dan Peluang hari Sabtu (23/2) di Balai senat UGM. Dikatakannya, kecenderungan pandangan hidup seseorang, masyarakat atau bangsa semakin materialistis, hedonistis dan pragmatis. Gerak langkah pun cenderung ke arah individualistis, sehingga sangat rentan terjadi perpecahan.
“Sebagai yang dipandang memiliki wawasan luas dan memiliki komitmen tinggi, para Guru Besar tentu peduli dengan permasalahan ini,†katanya.
Kata Prof. Sudjito ujung dari penyelenggaraan lokakarya adalah pembuatan buku Manusia Indonesia oleh Majelis Guru Besar UGM. Buku ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi siapa saja yang ingin mengetahui tentang Manusia Indonesia seutuhnya.
“Disamping memuat pemikiran lima pembicara dalam lokakarya, buku ini nantinya akan di kompilasi dengan tulisan-tulisan dari Guru Besar UGM lainnya dari berbagai sudut pandang ilmu,†jelasnya.
Prof. Dr. Nurochman Hadjam menambahkan ide pembuatan buku Manusia Indonesia datang dari Majelsi Guru Besar UGM. Buku ini diharapkan memberi sumbangan pada bangsa dari tulisan guru besar dalam perspektif ilmu masing-masing. “Misalnya dari Fakultas Kedokteran, bisa saja menulis Manusia Indonesia dari sisi bio molekuler, bahwa usia harapan hidup manusia Indonesia mengalami pergeseran, karena sel-sel dari 60 tahun menjadi 80 tahun,†imbuhnya.
Mengingat jumlah Guru Besar UGM mencapai 270 orang, Prof. Dr. Ir. Susamto Somowiyarjo, M.Sc, berharap buku Manusia Indonesia terbit secara berseri. Buku tidak hanya diperuntukan untuk masyarakat Indonesia, namun masyarakat dunia. “Biar mereka tahu ini lho Manusia Indonesia, dan penulisan buku ini merupakan wujud tanggungjawab Majelis Guru Besar UGM dalam memberi pencerahan pada masyarakat dan bangsa, sehingga mereka mengenali identitas manusia Indonesia,†tambahnya.
Selain Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif yang menyampaikan tentang Dimensi Sipritualitas dalam sejarah perjuangan Bangsa, Lokakarya akan menghadirkan pembicara Prof. Dr. Franz Magnis Suseno yang akan mengupas Dimensi Filosofis Dalam Mewujudkan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Pembicara lain Prof. Dr. Soetandyo Wignyasubroto yang akan menjelaskan Dimensi Hukum Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara: Kajian Filosofis, Normatif, dan Sosiologis, Prof. Ir. Rinaldy Dalimi, M.Sc., Ph.D tentang Perkembangan Kondisi Bangsa Dalam Perspektif Teknologi dan Kemanusiaan dan Prof. Dr. Soenarto Sastrowijoto, DSTHT tentang Etika Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. (Humas UGM/ Agung)