Dalam perkembangan akhir-akhir ini, realitas menunjukkan bahwa komunitas muslim Syiah di Asia Tenggara seringkali mengalami diskriminasi dan dimarginalisasi. Dalam konteks Indonesia, ketika masih berada di bawah pemerintah rezim Soeharto, muslim Syiah dilihat sebagai sebuah ancaman nasional.
“Muslim Syiah dianggap sebagai suatu gerakan revolusioner yang mengancam eksistensi rezim Soeharto,â€papar Direktur ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), Dr. Siti Syamsiyatun, pada konferensi internasional Historical & Cultural Presence of Shias in Southeast Asia: Looking at Future Trajectories, Kamis (21/2) di UC UGM. ICRS merupakan konsorsium tiga universitas, UGM, UIN Sunan Kalijaga dan UKDW.
Siti menambahkan di samping tekanan negara, pemikiran anti Syiah di Indonesia juga tersebar melalui banyak buku dan jurnal yang dipublikasikan secara luas. Kasus terbaru yang menimpa komunitas muslim Syiah terjadi di Cikeusik (Jawa Barat) dan Sampang (Madura) di mana komunitas Syiah diserang secara brutal oleh sekelompok orang, beberapa orang terbunuh dan ratusan rumah terbakar.
“Maka salah satu tujuan konferensi ini adalah mempromosikan hubungan yang harmonis antara muslim Syiah dan kaum muslim lainnya di Asia Tenggara,â€imbuh Siti.
Sementara itu di Malaysia, tekanan terhadap komunitas muslim Syiah datang dari negara yang memberi stigma “terlarang†bagi aliran Syiah. Dalam undang-undang keamanan Malaysia, komunitas Syiah di Malaysia dapat ditahan tanpa melewati proses persidangan terlebih dahulu. Malaysia menjamin kebebasan beragama, namun dalam konteks Islam, hanya sekolah-sekolah Sunni diijinkan dan mendapat bantuan dari negara.
Di sisi lain Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia, H.E. Mahmoud Farazandeh menilai di Indonesia tidak banyak dijumpai konflik yang melibatkan antara kelompok Syiah dan Sunni. Kedua kelompok tersebut telah dapat berinteraksi dengan baik dan aliran Syiah berkembang dengan dinamis.
“Mungkin unsur-unsur dari negara luar yang justru ikut menciptakan konflik di dalamnya,â€kata Farazandeh.
Keterlibatan negara luar, kata Farazandeh, juga terlihat di beberapa negara Islam di Arab, Timur Tengah dan Afrika. Namun, seiring bangkitnya Islam di abad 21, upaya memecah belah dan membuat konflik menurut Farazandeh tidak akan mudah dilakukan.
Pada konferensi yang diikuti lebih dari 250 peserta baik akademisi, pemuka agama, aktifis, jurnalis dan pejabat pemerintah tersebut menghadirkan beberapa pembicara seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra (UIN Syarif Hidayatullah), Dr. Zainal Abidin Bagir (CRCS UGM), Dr. Siti Maryam (UIN Sunankalijaga), Dr. Yance Zadrak Rumahuru (STKAPN Ambon) dan Dr. Agus Sunyoto (Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin, Malang) (Humas UGM/Satria AN)