Hampir 15 tahun sesudah Orde Baru berlalu, sebagian besar Orde Reformasi dinilai gagal. Indonesia berhasil mewujudkan struktur-struktur demokratis, pelanggaran hak-hak asasi manusia sangat berkurang, perekonomian menunjukkan kemajuan, namun tujuan untuk memberantas KKN “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme†gagal.
Bahkan Indonesia, dalam pandangan Prof. Dr. Franz Magnis Suseno bak situasi tidak menentu. Penilaian luar negeri memang memberi kesan Indonesia lebih positif daripada negatif, Indonesia diterima dalam Kelompok 20 dan dipuji sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia. “Namun kita yang ada didalam tahu bahwa tidak semuanya yang berkilat adalah bagus, bahwa yang borok semakin menjadi kenyataan. Republik ini diguncang krisis-krisis kecil dan skandal-skandal, tak ada dobrakan apapun yang sungguh dapat dibanggakan, pertumbuhan ekonomis untuk sebagian besar hanya karena kita menjual hasil bumi, bukan karena kita menjual perindustrian dan efisiensi kerja yang meningkat,†ujar franz Magnis, di Balai Senat UGM, Sabtu (23/20) saat menjadi pembicara pada Lokakarya Refleksi Kebangsaan Kembali ke Jati Diri Manusia Indonesia: Tantangan dan Peluang, yang digelar MGB UGM.
Keberhasilan-keberhasilan tersebut, karena sebagian besar hanya karena Indonesia menjadi juara dunia ekspor minyak sawit bukan dalam hal ekspor udang. Indonesia juga juara dunia dalam menghancurkan hutan rimba dan hutan bakau. “Suasana tidak puas, tidak menentu ini mengingatkan kita akan situasi di tahun 1955, dimana orang tidak puas dengan pemerintahan pasca Pemilu, yang akhirnya Sukarno, presiden waktu itu mematikan demokrasi dan mempermaklumkan ‘demokrasi terpimpin yang berakhir dengan kehancuran ekonomi dan tragedi 1965-1966,’ paparnya.
Kata Franz Magnis Suseno, sekurang-kurangnya empat ancaman serius bisa membawa Indonesia pada kehancuran demokrasi saat ini. Keempat ancaman tersebut adalah kegagalan otonomi daerah, ketidakadilan menciptakan keadilan sosial, semakin bebas merajalelanya ideologi agamis radikalis, fundamentalis, ekstremis, serta tenggelamnya kelas politik dalam balutan money poltics dan korupsi.
Prof. Ir. Rinaldy Dalimi, M.Sc., Ph.D menyoroti perkembangan kondisi bangsa dan martabat manusia Indonesia dalam perspektif kedaulatan teknologi menyatakan sebagai negara yang banyak menggunakan teknologi negara lain, Indonesia rentan dan menjadi tergantung pada negara lain dalam pemanfaatan teknologi. Baik ketergantungan jangka pendek, dari pengoperasian teknologi, tidak memiliki keahlian, maupun ketergantungan jangka panjang seperti pemeliharaan, perbaikan, suku cadang dan bahan baku.
“Ketergantungan bukan saja dari sisi teknologi, tetapi juga persyaratan-persyaratan yang diminta oleh negara yang memiliki teknologi kepada pemerintah Indonesia saat terjadi kontrak jual-beli,†katanya.
Menurut Rinaldy beberapa penyebab yang dapat menimbulkan ketergantungan kepada negara lain akibat penerapan dan penggunaan peralatan teknologi adalah teknologi yang dipergunakan atau dibeli meruoakan teknologi tinggi yang belum dikuasai. Faktor lain tidak memiliki suku cadang, penggunaan teknologi tertentu namun Indonesia belum memiliki bahan baku dan kerjasama yang mensyaratkan harus menggunakan teknologi negara lain. (Humas UGM/ agung)