Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang ke-4 di dunia. Hal tersebut berpotensi menjadikan Indonesia sebagi produsen garam. Sayangnya, dengan sumber daya alam yang ada Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Kondisi tersebut memaksa pemerintah untuk menetapkan kebijakan impor garam dari negara lain guna memenuhi kebutuhan garam masyarakat Indonesia.
Lukman Baihaki, peneliti pada Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menyorot sejumlah hal terkait kebijakan impor garam yang di tetapkan pemerintah. Menurutnya, dalam pengambilan kebijakan impor garam seyogianya melibatkan perwakilan petani garam. Langkah ini patut dilakukan agar kebijakan yang diambil nantinya mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat. Walaupun pada akhirnya pemerintah harus mengimpor garam karena permintaan domestik yang cukup besar, maka kebijakan tersebut harus diiringi dengan upaya pengembangan teknologi jangka panjang. Hal ini dilakukan agar impor garam tidak menjadi ketergantungan dalam waktu yang alam dan membuka peluang bagi Indonesia untuk swasembada garam di masa datang.
“ Sayangnya hingga kini belum terlihat upaya siginifikan ari pemerintah untuk meng-upgrade teknologi pengolahan garam. Bahkan tidak ada insentif bagi petani garam sehingga sebagian besar dari mereka tidak mampu lagi berproduksi. Sepertinya motivasi pemerintah tidak lagi didarkan pada kesejahteraan rakyat, justru keuntungan materi sebesar-besarnya bagi kelompok-kelompok kepentingan tertentu telah menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan,†paparnya dalam diskusi mingguan “Ekonomi Politik Kebijakan Impor Garam Indonesia†yang digelar PSPD baru-baru ini.
Selain itu, disebutkan Lukman harus ada kejelasan tentang kapasitas produksi dalam negeri dan sinergitas antara semua lembaga pemerintah yang terkait. Karena yang terjadi saat ini tidak ada sinkronitas antar data yang disajikan oleh kementrian-kementrian terkait. Secara statistik tidak terdapat kesesuaian antar data yang disajikan terkait kemampuan produksi garam lokal sehingga angka-angka yang muncul tidak bisa dipertanggungjawabkan. Akibatnya kebijakan impor garam yang seharusnya didasarkan pada alokasi kebutuhan garam lokal juga tidak memiliki kejelasan.
“Oleh sebab itu harus ada kejelasan data dari lembaga terkait untuk mengetahui kondisi garam domestik dan besar kuota garam yang bisa diimpor,†tandasnya.
Terakit dengan kebijakan impor tersebut, Lukman mengatakan, seharusnya pemerintah saat mengimpor garam dari Australia menyampaikan alasan pengambilan kebijakan tersebut karena produksi garam lokal memang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dalam negeri karena keterbatasan teknologi dan kondisi alam sehingga harus mengimpor. Dicontohkan, di Australia mtelah memiliki teknologi yang bisa menyuling air laut sehingga dapat memperoleh garam berkualitas baik. Selain itu, musim hujan turut mempengaruhi tingkat penurunan produksi garam yang sangat drastis. Iklim dengan curah hujan yang besar sangat tidak kondusif dalam pengolahan garam yang banyak membutuhkan sinar matahari.
“Jadi, meskipun perairan Indonesia sangat luas, namun pengolahan garam yang masih sangat tradisional menghambat efisiensi, kualitas, dan kuantitas produksi garam lokal. Ini sebenarnya yang mestinya dijelaskan oleh pemerintah,†ujar Lukman.
Tidak kalah penting, menurut Lukman pemerintah juga perlu memperhatikan dan mengatur waktu dalam impor garam. Waktu impor sebaiknya dilakukan jauh hari sebelum musim panen. Pasalnya, saat pemerintah mengimpor garam di masa panen garam akan mberimplikasi pada turunnya harga garam di pasaran yang secara otomatis akan menurunkan tingkat pendapatan petani garam. (Humas UGM/Ika)