Relasi Islam dan Hindu dari tahun 1997 sampai tahun 2010 mengalami dinamika yang terus menerus. Dinamika terjadi sesuai dengan kemajuan dan perkembangan pola pikir masyarakat. Pendidikan yang semakin baik mendorong kebertahanan relasi Islam dan Hindu di tiga daerah, yaitu Denpasar (Desa Pemongan), Karangasem (Desa Budakeling), dan Singaraja (Desa Pegayaman). Hal tersebut ditegaskan oleh I Gede Suwindia pada ujian terbuka program doktor, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, UGM, Sabtu (4/3).
Suwindia mengangkat disertasinya berjudul Relasi Islam dan Hindu Studi Kasus Tiga Daerah Denpasar Karangasem dan Singaraja Perspektif Masyarakat Multikultur di Bali.
Ia menambahkan adanya faktor historis yang di dalamnya terkait dengan ikatan kekerabatan, kawin-mawin antar umat beragama serta payung budaya setempat yang dijadikan rambu-rambu dalam pergaulan memperkuat bangunan relasi di tiga daerah tadi.
“Dinamika kedua komunitas Islam dan Hindu di sana sudah berdampingan ratusan tahun lamanya,â€kata Suwindia.
Dosen di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar itu mengatakan kearifan lokal berupa paras-paros, ikatan menyamabraya, metilesang raga, serta konsep nawang lek, tergambar dengan sangat jelas sebagai faktor penguat kebertahanan relasi Islam dan Hindu. Masyarakat di tiga daerah itu juga memaknai relasi Islam dan Hindu dalam konteks kemajuan.
“Kemajuan yang dimaksud baik dalam relasi secara sosial, ekonomi dan hubungan secara politis,â€tambah Suwindia.
Dalam perspektif multikultur menurut Suwindia kemajuan itu dimaknai sebagai semakin kuatnya trust atau kesaling percayaan, saling menerima dan bertukar kebaikan, penguatan jaringan, dalam konteks tiga daerah. Penguatan makna toleransi dalam kehidupan beragama serta kehidupan sosial lainnya antara komunitas Islam dan Hindu di tiga daerah juga menumbuhkan kesadaran akan common ground sebagai landasan untuk hidup saling menghargai dan menerima.
“Masyarakat patuh atas norma, kaidah yang diajarkan agama seperti penamaan rasa “lekâ€/rasa malu sebagai bagian dari khasanah karifan masyarakat Bali,â€imbuh pria kelahiran Karangasem, 29 Nopember 1976 itu.
Pada penelitian yang dilakukan Suwindia juga dibahas tentang rasa atau pengakuan akan ke-Balian warga Islam yang ada di tiga lokasi penelitian . Perasaan sebagai orang Bali yang beragama Islam bukan sekedar ungkapan yang dangkal, namun lebih pada ungkapan atas rasa memiliki dan kekerabatan yang mendalam. Orang Islam di lokasi penelitian ini merasa anah kalau diri mereka tidak dianggap sebagai orang Bali.
“Di sinilah nilai-nilai antropologis sangat kuat melekat dari sisi geneologis dan kekerabatan Islam dan Hindu dari zaman ke zaman,â€pungkas Suwindia yang lulus doktor dengan predikat sangat memuaskan itu (Humas UGM/Satria AN)