Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tidak pidana korupsi perlu direvisi ulang. Pasalnya, undang-undang tersebut disusun tanpa mempertimbangkan rasionalitas pelaku maupun calon pelaku korupsi. Hal ini dapat dilihat dari penetapan denda maksimum bagi koruptor sebesar 1 miliyar. Sementara disisi lain tidak ada batasan berapa jumlah nominal uang yang bisa dikorup oleh para koruptor.
“ Disadari atau tidak UU yang digunakan untuk melawan korupsi justru menciptakan sistim yang memaksa rakyat mensubsidi kepada para koruptor sehingga perlu dikaji ulang,†terang Rimawan Pradiptyo, Ph.D, peneliti ekonomi kriminalitas Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Senin (4/3) di FEB UGM.
Menurutnya, meskipun koruptor bisa dijatuhi hukuman pengganti, namun kenyataan di lapangan menunjukkan besarnya biaya eksplisit korupsi tidak terkait dengan penjatuhan hukuman pembayaran uang pengganti. Data memperlihatkan total biaya eksplisit korupsi pada kasus-kasus yang telah diputus oleh MA selama 2001-2012 mencapai Rp. 62,76 triliun berdasar harga berlaku atau Rp. 168,19 triliun berdasarkan perihutangan konstan tahun 2012. Namun begitu, besarnya hukuman total hukuman finansial yang dijatuhkan kepada koruptor hanya sebesar Rp. 6,27 triliun berdasar harga berlaku atau Rp. 15,09 triliun berdasar harga konstan 2012. “ Besaran total hukuman finansial yang dijatuhkan pada koruptor periode 2001-2012 hanya sebesar 8,97 % dari total biaya ekspilsit akibat korupsi. Lantas siapa yang menanggung selisih biaya eksplisit korupsi dan total hukuman finansial sebesar RP. 153,1 triliun itu? Ya tentu saja rakyat sebagai pembayar pajak harus menanggung beban itu,†paparnya dalam diskusi “Estimasi Biaya Eksplisit Korupsi Berdasar Putusan MA 2001-2012â€.
Seperti tindak kejahatan lainnya, Rimawan menyebutkan bahwa korupsi turut menciptakan biaya sosial bagi masyarakat. Selain biaya eksplisit korupsi yang menimbulkan kerugian secara eksplisit bagi negara, tindak korupsi juga menciptakan biaya implisit yaitu biaya oportunita yang timbul akibat korupsi, termasuk beban cicilan bunga di masa datang akibat korupsi di masa lalu. Bahkan memunculkan biaya antisipasi tindak korupsi meliputi biaya sosialisasi korupsi sebagai bahaya laten dan reformasi birokrasi untuk menurunkan hasrat korupsi. Korupsi juga melahirkan biaya akibat reaksi terhadap korupsi eperti untuk biaya peradilan, penyidikan, policing costs, dan proses perampasan asset di luar an di dalam negeri. “Biaya sosial kejahatan ini justru harus ditanggung oleh para pembayar pajak. Terjadi pemberian subsidi dari rakyat ke koruptor,†jelasnya.
Melihat kondisi tersebut Rimawan merekomendasikan amandemen UU Tipikor dengan segera. Selain itu nantinya dalam penetapan besaran hukuman denda dan uang pengganti kepada koruptor sebaiknya disesuaikan dengan besarnya biaya sosial korupsi yang ditimbulkan. “Kedepan sebaiknya biaya sosial korupsi dimasukkan dalam pasal-pasal 2 dalam penentuan hukuman baik hukuman denda dan uang pengganti. Kalau hal itu bisa bisa dilakukan akan menjamin pemiskinan para koruptor dan menciptakan efek jera yang optimal,†tuturnya. (Humas UGM/Ika)